Ketiga belas, Orang Yang Menunaikan Ibadah Haji Termasuk Penghuni Surga
Imam Ahmad mengetengahkan sebuah hadits:
اَلْحَاجُّ المَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ اِلاَّالْجَنَّةَ وَبِرُّالحَجِّ اِطْعَامُ الطَّعَامِ وَاِفْشَاءُ السَّلَامِ
“Bagi haji mabrur tidak ada imbalan pahala kecuali surga, dan kemabruran haji ialah memberi makan (fakir miskin) dan menyebarkan (ucapan) salam.”
Makna hadits tersebut adalah, haji mabrur imbalannya tidak terbatas pada penghapusan beberapa jenis dosa, tetapi dengan kemabrurannya itu ia akan dapat sampai ke surga.
(Yang dimaksud dengan “haji mabrur” ialah orang beriman setelah menunaikan ibadah haji ia menjadi lebih taat, lebih patuh kepada Allah SWT dan lebih banyak berbuat kebajikan—penerj.
Dengan diperolehnya berbagai kekhususan dan keistimewaan sebagaimana yang telah kami utarakan, maka tidaklah mengherankan jika orang Muslim yang telah menunaikan ibadah haji harus bertekad kuat, berhasrat besar dan berusaha keras untuk membuktikan semuanya itu di dalam kenyataan. Tak ada halangan baginya untuk ber-tathawwu’ melakukan ibadah yang mulia itu, walaupun ia sudah menunaikannya yang fardhu (ibadah haji yang pertama kali).
Ada orang yang menceritakan pengalamannya sebagai berikut. Di waktu thawaf saya melihat khal (lelaki berusia antara 30-50 tahun) yang sangat tekun beribadah. Dengan bertopang pada sebuah tongkat di tangan ia ber-thawaf mengitari Ka’bah. Kepadaku ia bertanya, “Berapa lama perjalanan yang Anda tempuh?” Saya menjawab, “Dua bulan.” Ia bertanya lagi, “Apakah saban tahun Anda menunaikan ibadah haji?” Saya diam, kemudian saya bertanya, “Berapa lama perjalanan dari tempat Anda sampai ke Baitullah ini?” Ia menjawab, “Lima tahun!” Saya katakan “Demi Allah, itu merupakan al-fadhlul-mubin (kebajikan yang nyata) dan kecintaan yang sesungguhnya.” Ia tertawa kemudian berdendang:
Jenguklah siapa yang engkau gandrungi
betapapun jauhnya jarak dari rumahmu
tiada halangan penyekat yang merintangi.
Tak ada lagi yang dapat menahan Anda
setelah Anda datang berkunjung padanya
mondar-mandir berkunjung pada yang dicintainya
bagi yang mencintainya adalah biasa.
Syaqiq Al-Balkhi —rahimahullahu ta’ala— menuturkan sebagai berikut:
“Dalam perjalanan menuju Makkah saya melihat seseorang yang tidak dapat berjalan sedang merangkak-rangkak di tanah. Kepadanya saya bertanya, ‘Anda datang dari mana?’ Ia menjawab, ‘Dari Samar-kand.’ Ketika saya bertanya berapa lama Anda berada di perjalanan, ia menjawab, ‘Lebih dari sepuluh tahun!’ Mata saya membelalak keheran-heranan melihatnya. Ia lalu bertanya kepada saya, ‘Mengapa Anda keheran-heranan melihat saya?’ Saya menjawab, ‘Saya heran melihat Anda yang lemah seperti itu dapat menempuh perjalanan yang demikian jauh!’ Ia menyahut, ‘Saudara, mengenai jauhnya perjalananku hanya kerinduanku sajalah yang menambah kekuatan tenagaku. Adapun mengenai kelemahan jasmaniku Tuhanlah yang menopangnya. Saudara, apakah saudara heran melihat seorang hamba Allah ditopang oleh Tuhan Yang Mahalembut?'” Setelah itu ia lalu berdendang:
Datanglah aku berkunjung padamu
meraih cinta memang sukar jalannya
rindulah yang membawa dan harapan membuat bahagia
Bukanlah pecinta orang yang takut bahaya
Tidak … tidak …
Jerih payah perjalanan tak ‘kan menjauhkannya
Sumber : Terjemah Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani