Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata (memberitahu sahabatnya): Seorang hamba Allah berbuat dosa lalu ia berdoa, “Ya Tuhan, aku telah berbuat dosa, hendaknya Engkau mengampuninya.” Tuhannya menjawab, “Hamba-Ku tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan me-murkairiya.” Kemudian Tuhan mengampuninya. Entah kapan lagi— masya’Allah—ia kembali berbuat dosa, lalu berdoa, “Ya Tuhan, aku berbuat dosa lagi, hendaknya Engkau mengampuninya.” Tuhannya menjawab, “Hamba-Ku tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan memurkainya”, lalu Tuhan mengampuninya. Pada lain waktu, entah kapan—masya’Allah—hamba tersebut berbuat dosa lagi, lalu berdoa, “Ya Tuhan, aku berbuat dosa lagi, hendaknya Engkau mengampuninya.” Tuhannya menjawab, “Hamba-Ku tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan memurkainya”, lalu Tuhan mengampuninya. Kemudian Tuhan bersabda, “Hamba-Ku telah Kuampuni, biarlah ia berbuat sekehendaknya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Makna kalimat “biarlah ia berbuat sekehendaknya” adalah: Setelah dimaafkan berulang kali dan diberi ampunan berturut-turut, maka atas karunia Allah SWT hamba itu akan mempunyai perasaan malu. Perasaan malu itulah yang akan mencegahnya dari perbuatan durhaka dan maksiat, berkah istighfar dan tobatnya. Itu menunjukkan betapa besar arti istighfar dan tobat. Hal itu pun menunjukkan pula, bahwa membiasakan diri gemar beristighfar dan bertobat, manfaatnya akan kembali kepada hamba yang bersangkutan sendiri, berupa kebajikan dan berkah yang amat besar. Di antaranya ialah semakin besarnya perasaan malu kepada Allah SWT yang memaafkan kedurhakaan dan kemaksiatan yang telah dilakukannya, sehingga kalau ada yang berkata kepadanya “lakukanlah maksiat sekehendakmu”, ia tidak akan mau melakukannya. Demikianlah makna kalimat tersebut, menurut pikiran dan perasaan kami. Mungkin ada pendapat selain itu.
Di antara berbagai kekhususan yang ada pada umat Islam ialah, bahwa tobat yang sungguh-sungguh akan dapat meningkatkan hamba yang bersangkutan ke martabat kesempurnaan dan kemuliaan setinggi-tingginya. Bahkan mungkin lebih tinggi daripada martabat yang dicapai oleh orang-orang ahli ibadah dan mujahadah.
‘Imran bin Hashin r.a. menuturkan sebagai berikut: Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang menghadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam keadaan sedang hamil karena perbuatan zina. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku telah berbuat melanggar hukum (hadd), tegakkanlah hukum atas diriku.” (Yakni, jatuhilah aku hukuman dan laksanakan). Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam lalu memanggil wali orang perempuan itu. Kepadanya beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata, “Perlakukanlah dia (perempuan itu) dengan baik. Bila sudah melahirkan bawalah ia kepadaku.” Perintah beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dilaksanakan sepenuhnya oleh wali perempuan tersebut. Setelah perempuan itu melahirkan ia dihadapkan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Beliau memeriksa perempuan itu secermat-cermatnya dan ternyata pengakuannya memang benar. Beliau memerintahkan supaya perempuan itu dirajam, lalu beliau menyalati jenazahnya. Melihat itu ‘Umar r.a. sambil keheran-heranan bertanya, “Anda menyalatinya, ya Rasulullah, padahal ia telah berbuat zina?” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab, “Ia benar-benar sudah tobat. Seumpama tobatnya itu dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah tentu dapat mencakup mereka semua. Apakah engkau melihat ada yang lebih afdhal daripada orang yang merelakan dirinya mati demi karena Allah ‘Azza waJalla?” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Sumber : Terjemah Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani