Penghapusan Beban Berat
Mengenai itu Allah SWT berfirman di dalam Alquran:
الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة والإنجيل يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث ويضع عنهم إصرهم والأغلال التي كانت عليهم
(Orang-orang beriman ialah) mereka yang mengikuti Rasul dan Nabi yang ummi (tuna aksara), yang namanya mereka temukan termaktub di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka; yang menyuruh mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran; yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk; dan yang membuang (menghapuskan) dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (QS. Al-A’raf: 157).
Yang dimaksud beban berat yang membelenggu adalah ketentuan-ketentuan yang membuat orang tidak dapat bergerak. Makna ayat tersebut ialah, bahwa Allah SWT tidak mewajibkan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melakukan sesuatu yang berada di luar kesanggupannya, dan tidak mensyariatkannya seperti yang disyariatkan bagi umat-umat sebelumnya (sebelum umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam). Misalnya seperti yang diwajibkan atas orang-orang Bani Israil. Mereka diwajibkan melakukan amalan-amalan yang sukar dan berat. Hal itu diibaratkan dengan rantai-rantai besi yang membelenggu leher mereka.
Beban berat yang membelenggu mereka (kaum Yahudi) banyak jenisnya, antara lain sebagai berikut:
Bagian yang Terkena Najis Harus Dipotong
Orang yang pakaiannya terkena najis, ia harus memotong bagian yang terkena kotoran itu. Untuk menyucikannya (membersihkannya) tidak cukup kalau hanya dicuci. Demikian menurut hadits yang diketengahkan oleh Bukhari di dalam Shahih-nya (Bab Al-baul Inda Sibdihatu Oaumin; Kitabul-Wudhu’). Bahkan sebagian dari mereka beranggapan, orang harus memotong apa saja yang terkena najis, meskipun bagian dari tubuh mereka. Hal itu menurut lahirnya riwayat dari Abu Dawud, yang antara lain menyatakan:
كانوا إذا اصاب البول جسد احدهم قطعوا ما اصابه البول منهم
“Pada zaman dahulu apabila tubuh mereka terkena air kencing, mereka diharuskan memotong bagian tubuh yang terkena najis itu.” (Bab Al-Istibru Minal-Baul)
Riwayat Muslim mengenai itu mengatakan, bahwa yang harus dipotong ialah kulitnya. Yakni bagian tubuh yang terkena air kencing harus dikupas kulitnya. Al-Qurthubi menakwilkan, yang dimaksud dengan kulit adalah pakaian yang terbuat dari kulit. Riwayat Bukhari menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kulit ialah pakaian. Mungkin saja di antara mereka (para perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dengan makna tersebut. Demikian disampaikan di dalam Al-Fath/330. Adapun umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam disyariatkan untuk membersihkannya cukup disiram dengan air dan dicuci saja. Cara demikian itu cukup dilakukan, baik yang terkena najis itu bagian dari masjid, pakaian ataupun badan. Demikianlah yang diterangkan rinciannya dalam kitab-kitab sunnah.
Tidak Makan Bersama Isteri yang Sedang Haid
Orang-orang Yahudi zaman dahulu apabila isterinya sedang haid, mereka pantang makan bersama, bahkan tidak mau menghubunginya, tidak mau tinggal bersama di dalam satu rumah, dan membiarkan perempuan-perempuan yang sedang haid itu tinggal seorang diri terasing di rumah. Demikianlah yang ditegaskan dalam Hadits Shahih (yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad) dari Ibnu Katsir.
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Agama umat ini (umat Islam) membolehkan suami bergaul dengan isteri yang sedang haid; makan, minum dan tidur bersama. Yang dilarang oleh syariat Islam hanyalah bersenggama dan istimta’ (bersenang-senang) dengan menyentuh bagian-bagian badan yang terletak di antara pusar dan lutut. Itu merupakan upaya pencegahan agar tidak terperosok dalam perbuatan terlarang.
Demikianlah agama Islam dengan hukum syariatnya, menjaga baik-baik kecenderungan dan sifat-sifat kemanusiaan manusia di samping hati nurani dan ruhaninya. Agama Islam menyerasikan keterpaduan antara tuntutan jasmani dan tujuan ruhani. Itu merupakan minhaj (cara) yang sangat tinggi dalam memperlakukan manusia, yaitu cara yang sepenuhnya selaras dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah SWT.
Ketetapan Hukum Qishash (Hukum Setimpal), Baik dalam Hal Kesalahan yang Disengaja Maupun dalam Hal Kekeliruan
Berlakunya hukum qishash sudah merupakan ketetapan di kalangan Bani Israil. Bahkan kesalahan yang tak disengaja (kekeliruan) pun harus dikenakan hukuman Qishash. Di kalangan mereka tidak ada hukum diyat (blood money, dll.), baik dalam hal pidana pembunuhan maupun serangan yang mengakibatkan luka badan. Hal itu terdapat dalam Shahih Bukhari (Bab Diyat: XI1/205). Mengenai kenyataan tersebut Allah SWT menyatakan di dalam firman-Nya:
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس
….Dan Kami telah tetapkan alas mereka, di dalam Taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa …. (QS. Al-Ma’idah: 48).
Namun Allah SWT meringankan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan penetapan hukum diyat (blood money, tebusan nyawa, luka-luka dan sebagainya). Ketentuan hukum diyat merupakan pengganti hukum qishash bagi pelaku pidana tersebut yang dimaafkan oleh keluarga (wali) korban. Mengenai ini Allah SWT berfirman:
كتب عليكم القصاص فى القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من أخيه شيء فالتباع بالمعروف واداء اليه باحسان ذالك تخفيف من ربكم ورحمة.
Diwajibkan qishash ato Wwn berkenaan dengan orang-orang yang mati dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa (yakni si pembunuh) yang mendapatpermaafan dan saudaranya, maka, hendaklah ia (yang memaafkan) menindaklanjuti dengan baik, dan (yang diberi maaf) hendaknya pula. Itu merupakan keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat… (QS.A1-Baqarah: 178).
Sumber : Terj. Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah
Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani