Tobat dengan Bunuh Diri
Setelah mereka (kaum Yahudi) menyembah-nyembah anak sapi, Nabi Musa a.s. menjelaskan kepada mereka, jika mereka benar-benar hendak bertobat, maka mereka harus bunuh diri. Mengenai itu Allah SWT telah berfirman di dalam Alquran:
فتوبوا الى بارئكم فاقتلوا انفسكم
…hendaklah kalian bertobat kepada Tuhan yang menjadikan kalian (Pen-cipta kalian) dan bunuhlah dirimu. (QS. Al-Baqarah: 54).
Demikian juga mengenai cara bertobat dari sejumlah perbuatan maksiat, mereka harus memotong anggota badan yang digunakan untuk berbuat maksiat. Seperti potong lidah dalam hal berbuat dusta, pemenggalan buah zakar dalam hal perbuatan zina, dan pencukilan mata dalam hal perbuatan melihat perempuan yang bukan keluarganya. (Al-Mawahib: V/381).
Sedangkan bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Allah SWT mempermudah cara bertobat. Allah SWT menerima tobat dan berkenan memaafkan berbagai kejahatan, bahkan lebih senang daripada senangnya seorang ibu menemukan kembali anak susuannya yang hilang. Allah SWT berfirman:
ومن يعمل سوءا او يضلم نفسه ثم يستغفر الله يجد الله غفورا رحيما
Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya diri sendiri, kemudian ia mohon ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’: 110).
Mempermalukan Orang yang Berbuat Maksiat
Orang-orang Bani Israil zaman dahulu, jika ada seorang di antara mereka berbuat maksiat, esok paginya ia melihat di pintu rumahnya tertulis “Si Fulan berbuat ini dan itu, dan kafaratnya (dendanya) begini dan begitu”. Hal itu dapat disaksikan oleh umum. (Al-Khashaish: III/4).
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Allah SWT memandang perbuatan seperti di atas lebih baik ditutup. Mengenai itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah menegaskan:
كل امتى معافى الا المجاهرين ان يعمل الرجل بالليل عملا ثم يصبح وقد ستره الله تعالى فيقول : يا فلان. عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف سترالله عنه.. متفق عليه
“Semua umatku dapat beroleh maaf kecuali orang-orang yang mengungkapkan (sendiri kesalahannya) yang diperbuat di malam hari (lalu mengungkapkannya sendiri) pada pagi harinya, padahal Allah telah menutupi kesalahannya. Ia mengatakan (kepada orang lain): ‘Hai Fulan, tadi malam aku berbuat begini dan begitu’. Padahal perbuatannya itu telah ditutupi Allah, Tuhannya, namun keesokan harinya ia membuka sendiri perbuatannya yang telah ditutupi Allah.” (Hadits Muttafaq alaihi).
Hukuman Dosa atas Niat Buruk
Meskipun Tidak Diwujudkan dengan Perbuatan
Setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT dan telah diturunkan kepadanya Kitab Suci niscaya memberitahu umatnya bahwa Allah SWT akan memperhitungkan apa yang telah mereka perbuat dan yang mereka sembunyikan di dalam dada. Kaum Bani Israil dahulu menghujat para Nabi dan Rasul mereka dan mengatakan, “Mengapa kami dikenakan hukuman atas niat buruk yang kami tidak mewujudkannya dengan perbuatan?” Mereka mengingkari para Nabi dan Rasul seraya berkata, “Kami mendengarkan tetapi kami tidak mau menaati!” Setelah orang-orang yang beriman dari kalangan mereka mengatakan, “Kami mendengar, kami mau menaati, kami berserah diri, dan kami pun beriman kepada Allah, mengimani malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, dan Rasul-rasul-Nya,” Allah SWT lalu menenteramkan mereka, bahwa Dia tidak memperhitungkan niat dalam hati mereka kecuali niat yang diwujudkan dalam perbuatan. Allah SWT berfirman di dalam Alquran:
لها ما كسبت وعليها ماكتسبت
Ia—seseorang—beroleh pahala dari kebajikan yang dilakukannya, dan ia beroleh siksa dari kejahatan yang diperbuatnya. (QS. Al-Baqarah: 286).
Hukuman atas Kekeliruan dan Kelupaan
Kaum Bani Israil dahulu dikenakan hukuman segera (hukuman di dunia) berupa pengharaman suatu makanan atau minuman atas dosa-dosa mereka, baik yang besar maupun yang kecil. (Al-Mawahib: 384).
Tidak demikian halnya dengan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Allah SWT membebaskan mereka dari dosa kekeliruan dan kelupaan, dan dari sesuatu yang dipaksakan kepada mereka. Hal itu ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (bin Hanbal), Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Daruquthni dengan isnad yang baik, dipandang baik pula oleh An-Nawawl. (Al-Mawahib: 384danAl-Khashaish: IH/202).
Mereka Diharamkan Melakukan Kegiatan pada Hari Raya Mereka
Hari raya mereka (kaum Yahudi) adalah hari Sabat (Sabtu). Mereka telah menyatakan sumpah danjanji akan mengagungkan hari Sabtu, akan sepenuhnya menunaikan kewajiban yang diperintahkan Tuhan, dan tidak akan melakukan kegiatan atau pekerjaan apa pun pada hari Sabat. Oleh sebab itu setelah ternyata mereka mencederai sumpah dan janji mereka lalu berupaya menangkap ikan pada hari itu, Allah SWT menjatuhkan hukuman atas mereka dengan firman-Nya:
كونوا قردة خاشئين
Jadilah kalian kera yang hina. (QS. Al-Baqarah: 65) Lihat juga Surah Al-A’raf: 163.
Beban hukuman yang seberat itu ditiadakan Allah SWT bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Pada hari-hari raya (hari-hari besar) mereka, yaitu hari Jumat, sebelum dan sudah salat Jumat mereka boleh bermuamalat (melakukan kegiatan sosial, ekonomi, dsb.). Mengenai hal itu Allah SWT berfirman:
يا ايهاالذين امنوا اذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكرالله وذروا البيع . ذلكم خير لكم ان كنتم تعلمون . فاذا قضيت الصلوة فانتشروا في الارض وابتغوا من فضل الله …
Hai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan salat Jumat, hendaknya bersegeralah kalian ingat akan Allah dan tinggalkanlah jual-beli (dan semua pekerjaan). Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. Apabila salat telah ditunaikan, hendaklah kalian bertebaran di muka bumi dan carilah karunia Allah …. (QS. Al-Jumu’ah: 9-10).
Wabah Penyakit Tha’un Melanda Umat-Umat Terdahulu Sebagai Azab Tha’un adalah jenis penyakit yang mematikan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mem-beritahu kita bahwa zaman dahulu berbagai bencana dan malapetaka— seperti wabah tha’un—ditimpakan Allah SWT atas berbagai umat, sebagai azab. Bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam apa pun yang terjadi dan mereka alami hanya sebagai rahmat dan pembuktian mengenai kebenaran Allah. Demikianlah menurut Hadits Shahih. (Al-Mawahib: V/391 danAl-Khashaish: IH/221).
Diharamkan Beberapa Jenis Makanan yang Baik bagi Mereka Itu mempakan hukuman yang dijatuhkan Allah SWT atas orang-orang Bani Israil, disebabkan oleh pembangkangan, kezaliman, dan pelecehan mereka terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Keserakahan membuat mereka lebih menyukai makanan yang bermutu rendah dengan berdalih, “Allah akan mengampuni kami!” Berkaitan dengan itu Allah SWT berfirman di dalam Alquran:
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبات احلت لهم وبصدهم عن سبيل الله كثيرا
“Maka disebabkan oleh kezaliman orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka makanan yang baik-baik, (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, karena mereka banyak merintangi (manusia) dari jalan Allah”. (QS.An-Nisa’: 160).
Allah SWT telah menjelaskan berbagai hal yang terlarang bagi mereka, yaitu:
- Semua hewan yang berkuku utuh (yakni hewan yang tidak berku-ku-belah) dan unggas, seperti unta, burung unta, itik, dan sejenisnya. Semuanya itu diharamkan bagi mereka.
- Gajih (lemak) sapi dan kambing diharamkan bagi mereka, dan gajih lainnya yang berada di dalam tulang (sumsum), isi perut, gajih yang ada pada ponok—sebagaimana yang terdapat di dalam surah Al-An’am. (Ibnu Katsir: 11/200).
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Allah SWT menghalalkan bagi mereka segala yang baik (QS. Al-Ma’idah: 5), dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. Al-A’raf: 157).
Sumber : Terj. Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah
Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani