Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendatangi seorang pemuda yang sedang menjelang maut, lalu bertanya, “Bagaimanakah keadaanmu?” Pemuda itu menjawab, “Aku berharap kepada Allah, ya Rasulullah, dan aku khawatir akan dosa-dosaku.” Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam lalu berkata:
لا يجتمعان في قلب عبد في مثل هذا الموطن الا أعطاه الله ما يرجوه وأمنه مما يخاف
“Jika dua hal itu berada di dalam hati seorang hamba yang sedang berada dalam keadaan seperti itu (menjelang maut), Allah niscaya memberinya apa yang diharapkan dan menyelamatkannya dari apa yang dikhawatirkan.” (Diriwayatkan oleh Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ibnu ‘Abid-Dunya).
Hayyan Abu an-Nadhr menuturkan: (Pada suatu hari) aku pergi untuk menjenguk Yazid bin Al-Aswad (yang dalam keadaan sakit). Di jalan aku bertemu dengan Watsilah bin Al-Asqa’ yang juga hendak menjenguk Yazid. Ketika Yazid melihat Watsilah, ia mengulurkan tangan memberi isyarat kepada Watsilah. Tangan Yazid lalu dicium oleh Watsilah. Setelah Watsilah duduk Yazid lalu memegang dua tapak tangan Watsilah, ditarik dan ditelungkupkan di atas wajahnya. Watsilah bertanya, “Bagaimanakah prasangkamu terhadap Allah?” Yazid menjawab, “Demi Allah, prasangkaku terhadap Allah baik.” Watsilah lalu berkata, “Gembirakan hatimu, karena aku mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata, bahwa:
قال الله جلا و علا:انا عند ظن عبدي بي ان ظن خيرا فله وان ظن شرا فله
‘Allah Jalla wa Ala bersabda: Aku ada pada prasangka hamba-Ku terhadap Aku. Jika ia berprasangka baik, itu untuk dirinya, dan jika berprasangka buruk itu pun untuk dirinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya, dan juga olehAl-Baihaqi).
Yang dimaksud dengan kalimat “Aku ada pada prasangka hamba-Mu terhadap diri-Ku” ialah, Allah akan membuktikan prasangka baik hamba-Nya, antara lain diterima kembalinya seorang hamba kepada-Nya, diampuni kesalahan-kesalahannya dan dikabulkan doa permohonannya.
Sudah tentu seorang hamba Allah SWT tidak akan mendapat semuanya itu kecuali jika prasangka baiknya terhadap Tuhannya benar-benar sempurna. Jika prasangkanya itu benar sempurna, dari Tuhannya ia akan memperoleh sesuatu sesuai dengan prasangkanya seperti kalau ia sungguh-sungguh dalam menghadapkan diri kepada-Nya, benar-benar bertobat, banyak beristighfar, berdoa, dan berbagai cara lainnya yang mendatangkan kebajikan. Itu semua merupakan hasil prasangka baiknya terhadap Allah SWT. Kalau kebajikan-kebajikan itu diberikan kepadanya, bagaimana dapat dikatakan bahwa Tuhannya tidak berada pada dirinya? Dan bagaimana Allah SWT tidak membuktikan kebenaran prasangkanya dan harapannya?
Abdullah bin Mas’iid r.a. mengatakan, “Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika seorang hamba berprasangka baik terhadap Allah, Dia pasti akan memberi kebaikan sesuai dengan prasangkanya, karena kebaikan itu berada di tangan-Nya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani).
Abu Hurairah r.a. menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah berkata:
امر الله عز وجل بعبد الى النار فلما وقف على شفتها التفت فقال:اما والله يا رب ان كان ظنى بك الحسن .فقال الله عز وجل:ردوه انا عند ظن عبدي بي
“Allah ‘Azza waJalla memerintahkan (malaikat) menyeret seorang hamba ke neraka. Setibanya di tepi neraka hamba itu menoleh seraya berkata: Demi Allah, ya Tuhan, bukankah dahulu aku berprasangka baik terhadap-Mu?!” Allah ‘Azza waJalla menjawab (tertuju kepada malaikat), “Kembalikan dia, Aku berada pada prasagka baik hamba-Ku terhadap-Ku.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi).
Sumber : Terjemah Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani