Pembawa Al Qur’an (yakni orang yang mahir membaca Anjuran) menurut syara’ harus didahulukan dari yang lain. Mengenai itu Ibnu Mas’ud r.a. menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyatakan:
“Yang mengimami suatu kaum (jamaah) hendaklah orang yang termahir membaca Kitabullah Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Bukhari dan lain-lain meriwayatkan, bahwa dahulu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengumpulkan dua jenazah sahabat yang gugur di dalam Perang Uhud. Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bertanya, “Siapakah di antara dua orang ini yang lebih banyak (sering) membaca Al Qur’an?!” Mana yang ditunjuk (oleh para sahabat) itulah yang didahulukan pemasukannya ke dalam liang lahad.
Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan, bahwa orang-orang yang mahir membaca Al Qur’an (Al-Qurra), mereka itu dahulu adalah anggota-anggota majelis permusyawaratannya (Khalifah) ‘Umar bin Al-Khaththab r.a., baik yang tua maupun yang muda.
Menghormati Al Qur’an termasuk sikap menjunjung tinggi sya’arullah (lambang keagungan Allah). Mengenai itu Allah SWT berfirman:
Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang keagungan Allah), sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (QS.Al-Hajj:32).
Dengan dalil ayat tersebut Imam An-Nawawi r.a. mewajibkan orang beriman menghormati Al Qur’an sebagai lambang keagungan Allah SWT, sama halnya dengan keharusan menghormati para ulama, karena mereka itulah orang-orang yang membawakan agama Allah dan syiar-syiar-Nya. Mereka tidak boleh diganggu.
Imam An-Nawawi mengutip pernyataan dua orang Imam Besar, Imam Abu Hanlfah dan Imam Syafi’i—radhiyallahu anhuma, yang menegaskan, “Kalau para ulama itu bukan para waliyyullah Ta’ala maka tak adalah waliyyullah.” Imam An-Nawawi juga mengutip apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Asakir, yang mengatakan, “Ketahuilah saudara—semoga Allah SWT memberi taufik-Nya kepada kami dan kepada saudara untuk memperoleh keridaan-Nya, dan semoga Allah SWT menjadikan kami semua sebagai orang-orang yang takut dan sungguh-sungguh bertakwa kepada-Nya—bahwa dagingnya para ulama beracun (yakni: para ulama kebal menghadapi cemoohan), dan kebiasaan Allah SWT membongkar aib orang-orang yang mencela kekurangan mereka pun telah diketahui umum. Orang yang lancang lidah mencerca para ulama, sebelum ia mati Allah SWT tentu Allah menimpakan bala (musibah) atas dirinya dengan kematian hati. Oleh karena itu awaslah terhadap mereka yang menyalahi perintah-Nya, mereka niscaya akan ditimpa malapetaka atau ditimpa azab yang amat pedih.”
Abu Musa Al-Asy’ari r.a. menuturkan, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah menyatakan:
“Sungguh termasuk sikap mengagungkan Allah Ta’ala orang yang menghormati Muslim lanjut usia, menghormati pembaca Al Qur’an (penghafal Al Qur’an) yang tidak berlebih-lebihan (ekstrem) dan tidak berperangai kasar; juga harus menghormati penguasa yang adil.”
Mengenai itu Ummul Mukminin ‘A’isyah r.a. menuturkan, “Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyuruh kami mendatangkan orang-orang ke rumah-rumah mereka (para penghafal Al Qur’an).” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Menguasai Al Qur’an Al-Karim merupakan salah satu karunia Allah SWT terbesar yang dilimpahkan khusus umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Allah SWT membuat hati umat ini menjadi “wadah” firman-firman-Nya dan dada mereka menjadi mushhaf untuk menjaga dan melestarikan ayat-ayat-Nya. Al Qur’an tidak dapat “dicuci” dengan air betapapun santernya, dan tidak dapat dihapus dari dalam dada mereka oleh kebencian musuh-musuh Allah SWT. Allah SWT telah berfirman:
Sebenarnya AlQur’an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu (berilmu), dan tidak ada yang dapat mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang zalim.” (QS. Al-Ankabut: 49).
Di dalam Shahih Muslim tercantum sebuah hadits dari Ayyadh r.a. yang menuturkan, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata:
“Sungguhlah bahwa Tuhanku menyuruhku mengajarkan kepada kalian sebagian dari apa yang diajarkan oleh-Nya kepadaku pada hari ini; (bahwa) semua hara kekayaan yang Kuberikan kepada seorang hamba adalah halal. Dan hamba-hamba-Ku Kuciptakan semuanya dalam keadaan lurus (hunafa, yakni meyakini kebenaran agama yang lurus). Namun kemudian mereka didatangi setan-setan lalu menyeret mereka keluar dari agama mereka. Setan-setan itu mengharamkanbagi mereka sesuatu yang telah Kami halalkan dan menyuruh mereka menyekutukan Aku (dengan yang lain), suatu hal yang sama sekali tidak pernah Kuturunkan keterangan tentang itu. Allah kemudian melihat kepada para penghuni bumi (yakni manusia di bumi) lalu Allah memurkai mereka, Arabnya maupun Ajarnya (yang bukan Arab), kecuali sisa-sisa dari Ahlul-Kitab. Kemudian Allah bersabda (kepada Rasul-Nya, Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam): Sesungguhnya engkau Kuutus untuk Kucoba dan denganmu Aku hendak mencoba (yakni menguji umat manusia), dan kepadamu Kuturunkan Kitab Suci (Al Qur’an) yang tidak dapat dicuci dengan air (yakni, betapapun santernya air bah tidak akan dapat menghapusnya). (Kitab itu) engkau baca baik di waktu tidur maupun di waktu jaga (tidak tidur).” (Al-Hadits).
Sumber : Terjemah Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani