Orang yang mahir membaca Alquran ia bersama orang-orang terdahulu yang mulia dan patuh (as-safarah al-Kiram al-bararah). Ummul Mukminin ‘A’isyah r.a. menuturkan, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyatakan:
“Orang yang mahir membaca Alquran ia bersama as-safarah al-Kiram al-bararah. Dan orang yang memabca Alquran dengan gagap (tersendat-sendat) dan amat sukar membacanya, ia mendapat dua imbalan pahala.” (Hadits muttafaq alaihi).
Makna hadits tersebut ialah orang yang membaca Alquran dengan lancar dan tidak merasa kesukaran, ia bersama dengan as-safarah as-sabiqun (orang-orang terdahulu) yang pada umumnya sangat lancar membaca Alquran. Sedangkan orang yang masih sukar dan sulit membacanya ia mendapat dua pahala.
- Orang yang di dunia gemar membaca Alqur’an pada Hari Kiamat kelak martabatnya akan senantiasa meningkat. Turmudzi mengetengahkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar r.a. yang menuturkan, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah menyatakan:
“(Pada Hari Kiamat kelak) akan dikatakan kepada orang yang dapat membaca Alqur’an (shahibul-Qur’an): Bacalah lalu naiklah (tingkatkan martabat), bacalah dengan tartil (indah dan bagus) seperti engkau dahulu di dunia membacanya dengan tartil. Manzi-lah-mu (martabatmu) ada pada akhir ayat yang engkau baca.”
- Pembaca Alquran tidak dicemaskan oleh ketakutan luar biasa pada Hari Kiamat. Thabrani mengetengahkan hadits ber-isnad cukup dari Ibnu ‘Umar r.a. yang menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menyatakan:
“Tiga (kelompok) orang yang tidak akan dicemaskan oleh ketakutan hebat dan mereka tidak terjangkau (terhindar) dari hisab (perhitungan atas amal perbuatan di dunia). Mereka berada di atas onggokan misk (parfum atau wewangian sejenisnya) hingga saat semua manusia selesai menghadapi hisab. (Tiga kelompok itu adalah): (1) Orang yang membaca Alquran demi keridaan Allah semata-mata dan mengimami (salat) suatu kaum (jamaah) sedangkan mereka ridha diimami olehnya; (2) Seorang mu’azzin yang berseru memanggil orang untuk salat, dan itu dilakukan semata-mata demi keridaan Allah; (3) Seorang hamba Allah yang berlaku baik terhadap Tuhannya dan terhadap mawali-nya (mantan budak yang hidupnya masih tergantung kepada mantan tuan pemiliknya, orang asuhannya).
Sumber : Terjemah Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani