Menurut dzawil-basha’ir (orang-orang arif yang berpandangan luas), maksud Hadits-Hadits tersebut adalah mencela sikap orang-orang yang menumpahkan segenap perhatiannya kepada soal-soal keduniaan, hingga memutuskan atau menghilangkan perhatian mereka kepada soal-soal akhirat. Demikian gandrungnya mereka kepada keduniaan, dan demikian kuat keduniaan mencengkeram hati mereka hingga mereka sangat pelit menginfakkan hartanya, bahkan mengeluarkan saja bagi mereka sudah terasa menyakitkan hati. Keduniaan sudah menguasai sepenuhnya kekosongan waktu mereka hingga dapat menghilangkan sama sekali perhatian mereka dari kewajiban pribadinya dan dari kewajiban-kewajiban pokok agamanya.
Makna kalimat dalam Hadits-Hadits tersebut di atas, yang menyebut “orang yang menumpahkan sebagian besar perhatiannya kepada keduniaan” berarti “orang yang seluruh jerih payahya semata-mata untuk mengejar keduniaan sebagai tujuan terakhir.” Sebaliknya, kalimat “dan siapa yang menumpahkan sebagian besar perhatiannya kepada soal-soal akhirat”—tidak hanya mengatakan: “perhatiannya kepada soal-soal akhirat”, melainkan “menumpahkan sebagian besar perhatiannya kepada soal-soal akhirat”—kalimat tersebut bermaksud menjelaskan, bahwa orangyang sibuk berusaha memperoleh keduniaan untuk maksud yang terpuji (seperti untuk dapat menunaikan ibadah haji yang banyak menelan biaya, untuk berinfak dijalan Allah dan sebagainya), maka kesibukan yang dilakukannya itu adalah terpuji, tidak termasuk kesibukan yang tercela.
Atas dasar pengertian demikian itu maka tercakuplah semua makna Hadits-Hadits tersebut dalam bab ini. Antara lain Hadits Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang menegaskan, “Orang yang menumpahkan perhatiannya kepada akhirat, Allah akan menjadikan kekayaannya berada di dalam hatinya, dan keduniaan datang kepadanya serta mendesak (minta diterima). Sedangkan orang yang menumpakan perhatiannya kepada keduniaan, Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan mata, Allah akan menceraiberaikan (memorakporandakan) urusan-urusannya, dan akan menjadikan kemiskinan berada di depan matanya. Sedangkan keduniaan tidak kunjung datang kepadanya selain yang telah disuratkan (ditakdirkan) Allah baginya.” (Diriwayatkan oleh Turmudzi).
Makna kata Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam “Allah menjadikan kemiskinan berada di depan matanya” ialah, kendatipun orang itu berusaha keras mengumpulkan keduniaan (harta kekayaan) ia tidak dapat melihat dirinya sendiri selain miskin. Meskipun ia bekerja keras dan berjerih payah, ia tidak dapat melihat dirinya sendiri selain serba kekurangan. Walaupun ia tidak tidur dan selalu membanting tulang, ia selalu merasa dirinya butuh, karenanya ia terus-menerus bekerja keras, membanting tulang dan berjerih payah dengan perasaan seperti itu. Ia selalu gelisah, jiwanya tidak pernah tenteram dan hatinya pun tidak pernah merasa tenang.
la tidak mempunyai tujuan yang pasti, bahkan di dunia ini ia terus lari seperti keledai. Dari keduniaannya itu ia tidak beroleh manfaat yang memuaskan nafsunya dan mencapai apa yang paling disukainya. Dengan demikian ia menjadi orangyang rugi di dunia dan akhirat.
Sumber : Terjemah Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah Karya Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani