Contoh lain, seseorang terbiasa mengeluarkan sedekah berupa uang recehan atau makanan yang berkualitas rendah. Namun, ketika ada yang melihatnya, ia mengeluarkan uang lebih banyak dan makanan yang berkualitas baik, karena khawatir dicela. Contoh lain lagi, seseorang yang sedang berpuasa meninggalkan ghibah (menggunjing) dan kata kotor karena takut dicela, bukan untuk menyempurnakan ibadah puasanya. Ini juga termasuk riya yang dilarang karena di dalamnya terdapat tindakan mengutamakan makhluk daripada Sang Pencipta. Meskipun begitu, tingkatannya masih di bawah riya dengan pokok-pokok peribadatan.
Mungkin pelaku riya akan mengatakan, “Aku melakukan hal itu untuk menjaga lidah mereka dari perbuatan mencela dan menggunjing. jika mereka melihatku mengerjakan ruku dan sujud sekenanya, bisa saja mereka mencela dan menggunjingku. Maka aku membantu mereka agar tidak melakukan perbuatan dosa tersebut,”
Alibi mereka bisa dijawab seperti ini. Itu merupakan tipu daya setan terhadapmu dan keadaanmu tidaklah seperti yang engkau ucapkan. Sesungguhnya kerugianmu karena ibadahmu yang tidak sempurna itu—yang merupakan bentuk pengabdianmu kepada Allah—lebih besar daripada kerugianmu akibat gunjingan orang lain. Sekiranya motifmu berbuat seperti itu adalah urusan agama, mestinya engkau lebih sayang kepada dirimu sendiri. Perumpamaanmu seperti orang yang menghadiahkan seorang budak perempuan kepada seorang raja demi mendapatkan kehormatan dan kekuasaan darinya. Ketika sang raja sendirian, ia berikan kepadanya budak perempuan yang cacat, buruk rupa, dan buta. Namun ketika sang raja bersama para budak laki-lakinya, ia tidak berani memberikan budak berkualitas buruk itu kepadanya karena khawatir dicela para budak itu. Ini sungguh mengherankan. Orang yang memperhitungkan keberadaan para budak raja semestinya lebih memperhitungkan keberadaan sang raja itu sendiri!
Pelaku riya tingkat ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ia berbuat riya karena menginginkan kedudukan dan pujian manusia. Sudah pasti ini haram hukumnya. Kemungkinan kedua, pelaku riya mengakui, “Aku memang tidak ikhlas saat memperbaiki ruku dan sujudku. Namun seandainya aku melakukan ruku dan sujud dengan tidak sempurna, shalatku akan dinilai tidak sempurna oleh mereka dan mereka pun menyakitiku dengan celaan dan gunjingan. Karena itu, aku pun memperbaiki ruku dan sujudku demi menghindari celaan mereka, tanpa mengharapkan pahala. Ini tentu saja lebih baik daripada aku tidak memperbaiki ruku dan sujudku sehingga aku tidak mendapatkan pahala dan memperoleh celaan manusia.” Maka, sesungguhnya yang wajib baginya ialah memperbaiki shalatnya dan berlaku ikhlas. Jika ia belum mempunyai kesadaran untuk memperbaiki shalatnya, hendaknya ia mengerjakan shalat sebagaimana biasa di waktu sendirian. la tidak seharusnya menghindari celaan dengan berbuat riya dalam beribadah. Sebab, itu merupakan suatu penghinaan kepada Allah.
Tingkatan kedua, seseorang berbuat riya dengan melakukan sesuatu yang apabila ditinggalkan, nilai ibadahnya tidak berkurang. la melakukannya untuk menyempurnakan ibadahnya, seperti memanjangkan ruku, sujud, dan berdiri dalam shalat, memperbaiki tingkah laku selama shalat, mengangkat kedua tangan, menyempurnakan iktidal, dan membaca surat yang lebih panjang daripada biasanya.
Tingkatan ketiga, seseorang berbuat riya dengan amalan-amalan di luar ibadah yang sunnah, seperti menghadiri shalat Jumat lebih cepat daripada orang kebanyakan, menempati saf yang pertama, dan berada di sisi kanan imam. Namun Allah Maha tahu bahwa seandainya ia sendirian, pasti ia tidak akan peduli kapan ia berangkat menuju shalat jumat dan di saf mana ia berdiri.
Itulah tingkatan-tingkatan riya ditinjau dari amal yang dipamerkan kepada orang lain. Sebagian lebih besar dosanya daripada sebagian yang lain, tetapi semuanya merupakan perbuatan yang tercela.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz