Orang yang berbuat riya pada tingkatan ini masih meyakini bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Seandainya ia disuruh menyembah atau bersujud kepada selain-Nya, tentu ia tidak mau. Namun, ia meninggalkan ibadah karena malas dan menjadi semangat mengerjakannya bila dilihat orang. Dengan demikian, kedudukan di sisi makhluk lebih berarti baginya daripada kedudukan di sisi Allah, celaan manusia lebih menakutkan baginya daripada siksa Allah, dan pujian mereka lebih berarti baginya daripada pahala dari Allah. Tentu saja ini merupakan puncak kebodohan dan pelakunya layak mendapatkan murka Allah, walaupun ia belum sampai keluar dari keimanan.
Tingkatan ketiga, seseorang berbuat riya dengan ibadah-ibadah sunnah, yang tidak berdampak dosa bila ditinggalkan. Namun, ia tidak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah di saat sendirian karena tidak tertarik dengan pahalanya dan lebih mengutamakan nikmatnya malas atas pahala yang mungkin ia dapatkan. Kemudian riya membuatnya mau mengerjakan ibadah-ibadah sunnah itu. Misalnya, riya dalam menghadiri shalat jamaah, mengunjungi orang sakit, mengantarkan jenazah, memandikan jenazah, mengerjakan shalat tahajud, serta berpuasa pada hari Arafah, Asyura, Senin, dan Kamis. Pelaku riya melakukan semua itu karena takut dicela dan mengharapkan pujian manusia. Padahal Allah Maha tahu bahwa ia tidak akan mengerjakan selain yang wajib bila sedang sendiri.
Dosa riya tingkat ini juga besar, tetapi masih di bawah dosa riya tingkat kedua. Sebab, pelaku riya tingkat kedua lebih mementingkan pujian manusia daripada pujian Allah, lebih takut pada celaan mereka daripada siksa-Nya. Pelaku riya tingkat ketiga ini juga lebih mementingkan pujian manusia daripada pujian Allah, tetapi ia hanya takut pada celaan manusia, tanpa ada maksud meremehkan siksa Allah.
Adapun riya dengan sifat-sifat ibadah, bukan dengan pokok-pokoknya, juga mempunyai tiga tingkatan. Tingkatan pertama, seseorang berbuat riya dengan melakukan sesuatu yang apabila ditinggalkan, nilai ibadahnya berkurang. Misalnya, seseorang biasanya membaca ayat-ayat, bersujud, dan melakukan ruku semaunya, asal-asalan. Namun ketika ada yang melihat shalatnya, ia memperbaiki bacaan, ruku, dan sujudnya. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang berbuat seperti itu, maka itu merupakan penghinaan kepada Allah azza wa jalla.” Artinya, ia tidak memedulikan pengawasan Allah. Sebagai perumpamaan, engkau duduk bertumpu pada dua telapak kaki atau bersandar kala duduk-duduk bersama seseorang. Kemudian datang pembantu orang tersebut, lalu engkau memperbaiki dudukmu. Tindakan ini merupakan bentuk penghormatan kepada pembantu dan penghinaan terhadap sang majikan. jadi, seperti itulah keadaan orang yang mengerjakan shalatnya dengan baik kata dilihat orang, tetapi semaunya saat sendirian.
Contoh lain, seseorang terbiasa mengeluarkan sedekah berupa uang recehan atau makanan yang berkualitas rendah. Namun, ketika ada yang melihatnya, ia mengeluarkan uang lebih banyak dan makanan yang berkualitas baik, karena khawatir dicela. Contoh lain lagi, seseorang yang sedang berpuasa meninggalkan ghibah (menggunjing) dan kata kotor karena takut dicela, bukan untuk menyempurnakan ibadah puasanya. Ini juga termasuk riya yang dilarang karena di dalamnya terdapat tindakan mengutamakan makhluk daripada Sang Pencipta. Meskipun begitu, tingkatannya masih di bawah riya dengan pokok-pokok peribadatan.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz