BAIAT ‘AQABAH KEDUA Bagian Ke-2
Ka’ab bin Malik dalam ceritanya mengenai apa yang dilakukan rombongan dari Madinah pada malam hari sesaat sebelum bertemu dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di ‘Aqabah itu, mengatakan: Malam hari menjelang pertemuan dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di ‘Aqabah kami tidur. Di tengah malam buta kami bangun, kemudian secara diam-diam kami berangkat menuju tempat yang telah dijanjikan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Kami berjalan menyelinap di tengah kegelapan malam menelusuri jalan menuju ke tempat itu, dan akhirnya tibalah kami di sebuah tempat dekat ‘Aqabah. Rombongan kami terdiri dari 73 orang, turut serta dua orang wanita, yaitu Nusaibah binti Ka’ab yang bernama panggilan Ummu ‘Imarah (seorang wanita dari Bani Mazin bin Najjar) dan Asma binti ‘Amr yang bernama panggilan Ummu Mani’ (seorang wanita dari Bani Salimah).
Kami semua berkumpul di pemukiman dekat ‘Aqabah menunggu kedatangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Tidak berapa lama kemudian beliau tiba bersama pamannya, Al-‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib. Ketika itu Al-‘Abbas belum memeluk Islam, tetapi ia memerlukan datang untuk turut menyaksikan apa yang hendak dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di ‘Aqabah. Setelah semuanya duduk, Al-‘Abbas membuka pembicaraan. Ia berkata: “Hai orang-orang Khazraj[1], sebagaimana kalian ketahui Muhammad seorang dari kabilah kami. Ia kami lindungi dan kami bela dari gangguan orang-orang sekabilahnya yang masih berpikir seperti kami (yakni yang belum mau memeluk Islam). Sesungguhnya Muhammad orang yang dihormati kaumnya dan beroleh perlindungan di kota kediamannya sendiri. Namun, ia condong kepada kalian dan ingin bergabung dengan kalian. Bila kalian sanggup menepati apa yang kalian janjikan kepadanya dan sanggup membelanya dari setiap orang yang menentangnya maka laksanakanlah apa yang telah kalian janjikan kepadanya. Akan tetapi jika setelah ia bergabung dengan kalian lalu kalian hendak menyerahkannya kepada musuh, atau tidak mau membelanya, maka tinggalkanlah ia sekarang juga. Ia akan tetap dihormati dan dilindungi oleh kaum kerabatnya di kotanya sendiri.” Menyambut pembicaraan Al-‘Abbas itu kami menyahut: “Apa yang Anda katakan telah kami dengar…” Sambil memandang ke arah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam kami berkata: “Ya Rasulullah, sekarang tiba giliran Anda berbicara. Katakanlah apa saja yang baik bagi Anda dan bagi agama Allah!”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mulai berbicara. Pertama-tama, beliau membacakan beberapa ayat Al-Qur’an, menjelaskan ajaran-ajaran Islam kemudian beliau mengajak mereka memeluk Islam. Selanjutnya, beliau minta ketegasan sikap mereka: “Aku berjanji akan tetap bersama kalian asalkan kalian tetap melindungiku seperti perlindungan yang kalian berikan kepada anak-istri kalian sendiri!”
Menyambut ucapan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam itu Al-Barra bin Ma’rur tampil ke depan mendekati beliau lalu menjabat tangan beliau seraya berkata: “Ya, demi Allah yang telah mengutus Anda sebagai Nabi pembawa kebenaran, Anda akan kami lindungi sebagaimana kami melindungi anak-istri kami sendiri! Ya Rasulullah, terimalah pembaiatan kami! Demi Allah, kami orang-orang yang sudah biasa berperang dan mengetahui benar bagaimana menggunakan senjata, itulah yang diwariskan kepada kami secara turun-temurun…!”
Belum lagi Al-Barra mengakhiri kata-katanya, Abul-Haitsam bin At-Tayyihan menukas: “Ya Rasulullah, antara kami dan orang-orang Yahudi terdapat hubungan, tetapi hubungan itu sekarang kami putuskan. Setelah hal itu kami lakukan, kemudian Allah berkenan memenangkan Anda, apakah Anda hendak meninggalkan kami dan kembali kepada kaum Anda di Makkah?” Mendengar ucapan Abul-Haitsam itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tersenyum, kemudian menyahut: “Darahku adalah darah kalian dan darah kalian adalah darahku. Aku dari kalian dan kalian dariku. Akan kuperangi orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai dengan orang yang kalian ajak berdamai.”
Setelah itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam minta kepada mereka supaya memilih 12 orang naqib (pemimpin yang bertanggung jawab atas kabilahnya masing-masing). Atas permintaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam itu mereka mengajukan 12 orang naqib; 9 orang dari kabilah Khazraj dan 3 orang dari kabilah Aus.
Peristiwa yang terjadi di ‘Aqabah itulah yang dalam sejarah Islam dikenal dengan nama “Baiat ‘Aqabah Kedua”. Mengenai peristiwa tersebut Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, ketika itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata kepada mereka: “Kalian membaiatku atas dasar taat dan setia di saat kalian kuat dan lemah; siap berinfak di saat kekurangan dan kecukupan; sanggup melaksanakan amar makruf dan nahi munkar; dan berani berkata benar tanpa merasa takut akan disesali orang.”
Para 12 naqib yang berasal dari kabilah Khazraj ialah:
- Abu Umamah As’ad bin Zararah.
- Sa’ad bin Ar-Rabi’ bin ‘Amr.
- ‘Abdullah bin Rawwahah.
- Rafi’ bin Malik bin Al-‘Ijlan.
- Al-Barra bin Ma’rur.
- ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram.
- ‘Ubadah bin As-Shamit bin Qais.
- Sa’ad bin ‘Ubadah.
- Al-Mundzir bin ‘Amr.
Para naqib yang berasal dari kabilah Aus ialah:
- Usaid bin Hudhair dari Bani’Abdul-Asyhal.
- Sa’ad bin Khaitsamah bin Al-Harits.
- Rifa’ah bin ‘Abdul-Mundzir bin Zubair.
Kepada 12 orang naqib tersebut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berpesan: “Hendaklah kalian menjadi penanggung jawab kaumnya masing-masing sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut Isa putera Maryam (kaum Hawariy). Sedang aku sendiri menjadi penanggung jawab atas umatku”. Pesan beliau itu mereka sambut dengan ucapan: “Ya, kami siap sedia, ya Rasulullah!”
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari ‘Ashim bin ‘Amr bin Qatadah, Ibnu Ishaq mengatakan, ketika rombongan dari Madinah itu telah sepakat hendak membaiat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, seorang Anshar bernama Al-‘Abbas bin ‘Ubadah bin Nadhlah (dari Bani Salim bin ‘Auf) dengan semangat menyala-nyala berkata kepada teman-temannya: “Hai kaum Anshar, sadarkah kalian atas dasar apa kalian membaiat orang itu (yakni Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam)?” Setelah mendengar teman-temannya menjawab “Ya”, ia meneruskan kata-katanya: “Kalian membaiatnya atas dasar kesediaan berperang melawan setiap orang berkulit putih dan berkulit hitam yang memusuhinya! Kalau kalian memandang kehilangan harta benda sebagai musibah, atau bila para pemimpin kalian mati terbunuh dalam peperangan lalu kalian hendak menyerahkan orang itu kepada musuh. Demi Allah, ketahuilah jika hal itu kalian lakukan berarti kalian berbuat nista di dunia dan akan hidup terhina di akhirat kelak. Sebaliknya, bila kalian sanggup menepati janji setia kepadanya serta rela kehilangan harta benda dan rela kehilangan para pemimpin kalian yang tewas di medan perang, baiatlah dia! Demi Allah, itu merupakan kebajikan di dunia dan akhirat!”
Teman-temannya menyahut serentak: “Kami siap menanggung musibah kehilangan harta benda dan rela kehilangan pemimpin yang tewas di medan perang!” Mereka lalu mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam: “Ya Rasulullah, jika kami telah menepati semuanya itu apakah yang akan kami peroleh?” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab singkat: “Surga!” Mereka maju serentak mendekati beliau seraya berkata: “Ya Rasulullah, ulurkan tangan Anda! “Beliau mengulurkan tangan, kemudian mereka pegang kuat-kuat sambil menyatakan janji setia (baiat) kepada beliau.
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi
[1]Pada masa itu orang Arab menyebut kaum Anshar dengan “Kaum Khazraj”. Yang dimaksud dengan sebutan itu ialah semua orang Anshar, baik yang dari kabilah Aus maupun yang dari kabilah Khazraj.