PELAJARAN DAN BAHAN RENUNGAN Bagian Ke-2
Atas dasar ini, maka Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memilih menggunakan semua cara dan jalan “material” yang dapat dicerna akal sehat manusia biasa. Bahkan, beliau melakukan hal itu secara sempurna tanpa celah sedikit pun. Ketika melakukan hijrah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memerintahkan Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu untuk tidur di atas ranjang beliau. Mengenakan selimut yang beliau kenakan. Selain itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam meminta bantuan seorang musyrik sebagai penunjuk jalan ke Madinah, jalan yang tidak biasa dilalui orang sehingga tidak mudah dikejar musuh. Bahkan, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga menginap tiga malam di gua Tsaur untuk bersembunyi.
Demikianlah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melakukan semua hal rasional yang dapat diterima akal sehat. Jadi, keimanan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. ternyata tidak serta merta menafikan penggunaan jalan “material” yang masuk akal, yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melakukan itu bukan karena mengkhawatirkan keselamatan jiwa sendiri. Bukan pula karena menduga orang-orang musyrik akan berhasil menangkap beliau sebelum tiba di Madinah. Buktinya, setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menernpuh semua jalan “material”, orang-orang musyrik pun masih berhasil mencapai gua tempat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersembunyi. Bahkan, sampai membuat khawatir sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, karena kalau saja orang-orang musyrik itu melihat ke bawah, mereka berdua akan berhasil ditemukan. Pada saat itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam justru menenangkan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dengan bersabda, “Wahai Abu Bakar, apa yang kau bayangkan terhadap dua orang, sementara yang ketiga dari mereka adalah Allah?” Padahal, jika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam hanya mengandalkan apa yang beliau lakukan, wajar saja jika beliau juga merasa takut atau khawatir.
Jadi, ternyata semua tindakan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam perjalanan hijrah itu merupakan “keharusan syariat”. Ketika semua itu sudah dipenuhi dengan baik, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam selanjutnya berserah diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, memohon perlindungan dan taufik-Nya. Tujuannya tak lain adalah agar setiap muslim dapat mengetahui bahwa tidak ada satu pun yang boleh dijadikan sandaran dalam melakukan tindakan apa pun, selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Walaupun hal itu tidak boleh menafikan hukum kausalitas yang ditetapkan Allah Subhanahu wa ta’ala bagi semua ciptaan-Nya.
Salah satu bukti paling jelas berkenaan dengan hal ini adalah ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam nyaris disusul oleh Suraqah yang ingin membunuhnya. Sebenarnya, adalah wajar jika dengan segala kehati-hatian yang beliau lakukan dalam perjalanan hijrah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam merasa takut dirinya akan tertangkap atau mati di tangan musuh. Akan tetapi, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sama sekali tidak merasa ketakutan seperti itu. Alih-alih, beliau justru sibuk menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan terus bermunajat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sadar betul bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala yangmemerintahkan beliau hijrah pasti akan melindunginya dari segala macam keburukan pihak musuh.
Diantara pelajaran penting adalah, dari tindakan Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengembalikan semua barang titipan kepada yang memiliki, kita menemukan bukti yang sangat jelas akan adanya standar ganda yang diterapkan orang-orang musyrik terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Ketika mereka beramai-ramai mendustakan semua yang disampaikan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, bahkan terus mencaci beliau sebagai penyihir dan penipu, pada saat yang sama mereka tidak menemukan orang lain yang lebih dapat dipercayai selain Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri. Dengan penuh kepercayaan, mereka justru menitipkan semua barang berharga yang mereka miliki kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Jadi, hal ini jelas membuktikan bahwa kekufuran dan pembangkangan yang dilakukan orang-orang musyrik Mekkah sebenamya bukan disebabkan keraguan mereka akan tingkat kejujuran Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, melainkan lebih dikarenakan kesombongan mereka dalam menghadapi kebenaran yang dibawanya. Selain itu, karena takut kehilangan kedudukan di hadapan para pengikut mereka.
Diantara pelajaran penting adalah, belajar dari Abdullah ibn Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu yang secara suka-rela bolak-balik Gua Tsaur—Mekkah untuk menginformasikan perkembangan di kota Mekkah kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, juga Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anha yang ikut menyiapkan perbekalan untuk sang ayah dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Kita dapat melihat gambaran sikap yang harus dilakukan pemuda dan pemudi muslim dalam menempuh jalan Allah Subhanahu wa ta’ala. untuk menerapkan ajaran Islam serta membangun sebuah masyarakat yang islami. Seorang muslim tidak selayaknya berasyik-masyuk dan tenggelam dalam ibadah “individual” sendiri. Mereka semua harus mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang dimiliki untuk menegakkan agama Islam. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh para pemuda dan pemudi muslim di setiap tempat dan waktu.
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi