PELAJARAN DAN BAHAN RENUNGAN Bagian Ke-4
Diantara pelajaran penting adalah, Melihat kehidupan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang sementara waktu tinggal di kediaman Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, kita dapat melihat sebuah bentuk lain dari kecintaan para sahabat kepada beliau. Coba bayangkan bagaimana Abu Ayyub Al-Anshari dan istrinya mencari berkah (tabarruk) dengan memakan makanan yang tersisa dari hidangan yang mereka berikan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Berarti, mencari berkah dengan sesuatu yang tersisa dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam adalah syariat yang direstui beliau.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan begitu banyak Hadits yang menuturkan kebiasaan para sahabat mencari berkah (tabarruk) dari sisa atau bekas Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, atau bertawassul dengan sisa atau benda-benda bekas Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk mencari kesembuhan, pertolongan, taufik, dan sebagainya. Di antara Hadits yang berbicara tentang mencari berkah atau tabarruk ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam kitab Ash-Shahih pada bagian Kitab Al-Libaspada bab Ma Yudzkarufi Asy-Syaib (hal-hal yang berkenaan dengan uban). Di dalam Hadits tersebut dinyatakan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, pernah mengumpulkan rambut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di dalam sebuah botol. Ketika salah seorang sahabat terserang sakit mata atau penyakit lainnya, ia akan mengirimkan air kepada Umm Salamah Radhiyallahu ‘anha Selanjutnya, Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha biasanya akan mencelupkan rambut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ke dalam air itu, untuk kemudian diminum oleh yang bersangkutan dengan niat ber-tawassul dan bertabarruk dari rambut Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Senada dengan itu, sebuah Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Kitab Al-Fadhail pada bab Thib Araqihi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam (wanginya keringat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam). Di dalam Hadits itu disebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam masuk ke kediaman Ummu Sulaim ketika ia tidak di rumah, kemudian beliua tidur di atas ranjangnya. Tidak lama kemudian, Ummu Sulaim muncul. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam kala itu sedangberkeringat. Maka, Ummu Sulaim pun mengumpulkan keringat itu dengan cara memerasnya dari kain alas tidur Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah botol. Sesaat kemudian, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam terjaga dan langsung bertanya kepada Umm Sulaim, “Apa yang kau lakukan, wahai Umm Sulaim?’ Ummu Sulaim menjawab, “Wahai Rasulullah, kami mencari berkah dari keringat ini untuk anak-anak kami yang masih kecil: Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Engkau benar” (HR Muslim). Sebuah Hadits yang termaktub di dalam Ash-Shahihayn menuturkan bahwa para sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sering kali berlomba untuk mendapatkan air bekas wudhu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam demi mencari berkah. Para sahabat juga banyak ber-tabarruk melalui pakaian atau gelas yang telah digunakan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Jadi, jika ber-tawassul dengan sisa atau bekas dari benda-benda tersebut saja diperbolehkan, apalagi dengan kedudukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala? Dan bagaimana jika ber-tawassul dengan posisi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebagai rahmat bagi alam semesta?
Anda tentu tidak perlu bingung jika dalam uraian ini kami menganalogikan tawassul dengan tabarruk. Padahal, masalah ini sebenarnya tidak membutuhkan analogi seperti itu. Alasannya, istilah tawassul dan tabarruk memiliki arti yang sama, yaitu: mengejar kebaikan dan berkah lewat jalan yang dapat menghubungkan kepada kebaikan tersebut. Semua jenis tawassul, baik lewat kedudukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, sisa sesuatu dari beliau, maupun bekas pakaian beliau, sebenarnya memiliki wilayah masing-masing, tetap berada di bawah ketentuan hukum yang berlaku umum terhadap semua jenis tawassul, sebagaimana ditetapkan hadits-hadits shahih. Semua bentuk khas dari sebuah jenis tawassul dapat dimasukkan di dalam keumuman nash melalui prinsip Tanqih al-Manath (adaptasi hubungan).
Demikianlah yang dapat kami rangkum untuk umat dari apa yang dapat kami sarikan dari dua buku agung, “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi semoga Allah merahmati keduanya, dari dari apa yang kami dapati dan fahami dari karya dan ilmu para ulama-ulama besar lainnya.
و صلى الله على سيدنا محمد و آله و صحبه و سلم و الحمد لله رب العالمين أولا و آخرا ظاهرا و باطنا
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi