BAIAT ‘AQABAH KEDUA Bagian Ke-1
Pada musim haji berikutnya sejumlah kaum Anshar bersama beberapa orang musyrikin Madinah berangkat ke Makkah. Dalam kesempatan berada di Makkah kaum Anshar secara diam-diam, tanpa sepengetahuan orang-orang musyrik yang turut dalam rombongan, bersepakat dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk menyelenggarakan pertemuan di’Aqabah pada pertengahan hari-hari tasyriq (12 Dzulhijjah).
Ibnu Ishaq mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Ka’ab bin Malik, bahwa Ka’ab bin Malik sendiri termasuk di antara mereka yang hadir dan turut membaiat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di ‘Aqabah. Dalam menceritakan peristiwa tersebut Ka’ab mengatakan sebagai berikut: Pada suatu musim Haji, kami (kaum Anshar) berangkat ke Makkah bersama beberapa orang yang belum memeluk Islam. Ketika itu kami telah menunaikan shalat sehari-hari dan telah memahami dengan baik ajaran-ajaran Islam. Turut berangkat bersama kami Al-Barra bin Ma’rur, pemimpin kami dan orang yang tertua di antara kami. Setelah kami meninggalkan Madinah, di tengah perjalanan Al-Barra berkata kepada kami: “Saudara-saudara, aku mempunyai suatu pendapat, tetapi aku tak tahu apakah kalian dapat menyetujui pendapatku itu atau tidak!”. Ketika kami tanyakan apa dan bagaimana pendapatnya ia menjawab: “Aku berpendapat, tidaklah patut kalau aku shalat membelakangi Ka’bah. Karena itu di waktu shalat aku hendak menghadap ke Ka’bah”.
Pendapat Al-Barra itu kami anggap aneh, karenanya kami lalu menjawab: “Sepanjang berita yang kita dengar, tiap shalat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam selalu menghadap ke arah Syam (yakni Baitul-Maqdis). Kita tidak mau berbuat menyalahi beliau!”. Al-Barra bersikeras dan tetap hendak menunaikan shalat menghadap ke arah Kabah, sedangkan kami tidak mau mengikutinya. Bila tiba waktu shalat kami shalat menghadap ke arah Syam dan Al-Barra menghadap ke arah Ka’bah. Demikianlah yang terjadi selama dalam perjalanan hingga kami tiba di Makkah. Kami menyesali perbuatan yang dilakukan oleh Al-Barra itu, tetapi ia tetap bersikeras pada pendapatnya sendiri.
Setiba kami di Makkah, Al-Barra minta supaya kami segera menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Kepadaku, Al-Barra berkata “Saudara, ajaklah kami menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam agar kami dapat menanyakan kepada beliau tentang apa yang telah kulakukan selama dalam perjalanan. Aku merasa tidak enak melihat sikap kalian yang berlainan denganku mengenai arah menghadap di waktu shalat.” Kami lalu berusaha menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Ketika itu kami belum mengenal beliau dan belum pernah melihatnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk Makkah, kepadanya kami tanyakan di mana Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berada. Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan kami ia balik bertanya: “Apakah kalian sudah mengenal beliau?” Kami jawab: “Belum”. Ia masih bertanya lagi: “Apakah kalian sudah mengenal Al-Abbas bin ‘Abdul-Muththalib?” Kami jawab: “Ya, kami sudah mengenal Al-‘Abbas. Ia sering datang ke kota kami sebagai pedagang.” Orang itu kemudian memberi petunjuk: “Bila kalian masuk ke dalam Ka.bah dan melihat orang sedang duduk bersama Al-‘Abbas, beliau itulah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Kami lalu segera masuk ke dalam Ka’bah, di sana kami melihat Al-‘Abbas sedang duduk bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Setelah mengucapkan salam kami duduk dekat beliau. Kepada Al-‘Abbas beliau bertanya: “Hai Abu-Fadhl (nama panggilan Al-‘Abbas), apakah Anda mengenal dua orang itu?” Al-‘Abbas menyahut: “Ya, dia Al-Barra bin Ma’rur[1], seorang pemimpin kabilah, dan temannya itu Ka’ab bin Malik.”
Ka’ab bin Malik dalam menuturkan pengalamannya itu menambahkan: “Demi Allah, aku tidak akan melupakan pertanyaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengenai diriku pada saat itu: ‘Apakah dia penyair?’ Al-‘Abbas menjawab: ‘Ya, benar”. Al-Barra kemudian berkata: “Ya Rasulullah, aku turut serta dalam perjalanan rombongan ini, sebelum itu Allah telah melimpahkan hidayat kepadaku untuk memeluk Islam. Aku berpendapat, rasanya tidak patut bagiku bersembahyang membelakangi Ka’bah, karena itu aku menghadap ke arahnya di waktu shalat. Akan tetapi teman-temanku tidak mau mengikuti jejakku dalam hal itu hingga aku merasa tidak enak. Bagaimanakah pendapat Anda mengenai itu, ya Rasulullah?” Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab: “Hendaklah engkau sabar dan tetap shalat menghadap kiblat[2], yakni Baitul-Maqdis. Atas dasar jawaban Rasulullah itu Al-Barra menghadap kearah Baitul-Maqdis di waktu shalat, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sendiri.
Mengenai pertemuan di ‘Aqabah yang telah disepakati bersama antara Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dan rombongan Anshar dari Madinah, Ka’ab bin Malik menuturkan sebagai berikut: Seusai Haji, tibalah waktu pertemuan di ‘Aqabah yang telah dijanjikan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, yaitu pada malam pertengahan hari-hari tasyrik (yakni malam tanggal 12 Dzulhijjah). Turut serta dalam rombongan kami ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram Abu’ Jabir, salah seorang pemimpin kabilah kami. Ia sengaja kami ajak serta, namun kami tetap merahasiakan urusan kami dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, agar jangan sampai diketahui oleh orang-orang yang belum memeluk Islam dalam rombongan kami, termasuk ‘Abdullah bin ‘Amr sendiri. Ia kemudian kami ajak berbicara dan kepadanya kami katakan: “Hai Abu Jabir (nama panggilan ‘Abdullah bin ‘Amr), Anda adalah seorang di antara para pemimpin kami dan termasuk orang yang terhormat di kalangan kami. Kami tidak ingin melihat Anda terus-menerus dalam keadaan seperti sekarang ini sehingga di akhirat kelak Anda akan menjadi umpan mereka … “Setelah ia kami nasihati panjang-lebar akhirnya kami minta supaya ia bersedia memeluk Islam, lalu kepadanya kami beritahukan janji Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam yang hendak menemui kami di ‘Aqabah. Ia menyambut baik ajakan kami, kemudian memeluk Islam dan turut bersama kami membaiat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di ‘Aqabah (yakni Baiat ‘Aqabah Kedua). Dalam pertemuan dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam itu ia diangkat sebagai salah seorang naqib (pemimpin yang bertanggung jawab atas masyarakatnya).
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi
[1]Al-Barra bin Marur ialah orang yang bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Disatu kisah lain, Al Barra makan hidangan beracun yang disuguhkan orang bersama Rasulullah. Tak lama kemudian Al-Barra wafat karena racun tersebut. Setelah dimakamkan, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. shalat di atas kuburannya dan mendoakan kebaikan baginya.
[2]Suhail dalam tanggapannya mengenai hadis tersebut mengatakan, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak menyuruh Al-Barra mengulangi shalat-shalatnya yang dilakukan menghadap ke arah Ka’bah. Hadis tersebut menunjukkan pula bahwa selagi berada di Makkah, Rasulullah selalu menghadap ke arah Baitul-Maqdis dalam menunaikan shalat-shalatnya, demikian menurut Ibnu ‘Abbas. Namun sebagian ulama mengatakan, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. berhenti menghadap Baitul-Maqdis dalam shalat-shalatnya setelah 17 atau 16 bulan beliau tinggal di Madinah. Hadis-hadis shahih meriwayatkan, bahwa selagi masih berada di Makkah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. selalu menghadap ke arah Baitul-Maqdis dalam menunaikan shalat-shalatnya.