BAIAT ‘AQABAH PERTAMA
Pada musim haji tahun berikutnya, berangkatlah 12 orang Anshar dari Madinah menuju Makkah. Mereka bertemu dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di Aqabah, di tempat itulah mereka menyatakan baiat (janji setia) kepada beliau. Dalam sejarah Islam peristiwa itu terkenal dengan nama Baiat ‘Aqabah Pertama atau Bai’atun-Nisa. Penamaan Bai’atun-Nisa (Baiat Kaum Wanita) diambil dari pernyataan seorang pemimpin Anshar ‘Ubadah bin Ash-Shamit, yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagai berikut: Berbagai sumber berita yang berasal dari ‘Aidzullah bin ‘Ubaidillah-Al-Khaulaniy mengatakan, mengenai peristiwa tersebut ‘Ubadah bin Ash-Shamit menyatakan: “Aku termasuk orang yang hadir dalam baiat ‘Aqabah Pertama. Ketika itu kami yang semuanya berjumlah 12 orang membaiat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam atas dasar Bai’atun-Nisa, yaitu: Kami berjanji tidak akan menyekutukan Allah dengan apa pun juga; tidak akan berbuat zina; tidak akan membunuh anak-anak kami; tidak akan berbuat dusta dan tidak akan berbuat durhaka”. ‘Ubadah bin Ash-Shamit menamai pembaiatan itu dengan Bai’atun-Nisa karena dalam pembaiatan tersebut turut serta dua orang wanita.
Keduabelas orang pria yang turut-serta di dalam Baiat ‘Aqabah Pertama itu ialah:
Dari Bani An-Najar : As’ad bin Zararah dan ‘Auf bin Al-Harits bersama saudaranya yang bernama Mu’adz.
Dari Bani Zuraiq : Rafi’ bin Malik dan Dzakwan bin ‘Abdi Qais.
Dari Bani ‘Auf : ‘Ubadah bin As-Shamit dan Yazid bin Tsa labah.
Dari Bani ‘Ijlan : Al-‘Abbas bin ‘Ubadah.
Dari Bani Salimah : ‘Uqbah bin ‘Amir.
Dari Bani Sawad : Quthbah bin ‘Amir bin Hudaidah.
Mereka itu semunya dari kabilah Khazraj. Selain mereka hadir dua orang dari kabilah Aus sebagai saksi, yaitu Abul-Haitsam bin At-Tayyihan dan ‘Uwaim bin Sa’idah. Setelah mereka pulang ke Madinah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengutus Mush’ab bin ‘Umair bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushaiy dengan tugas mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka dan berbagai pengetahuan lainnya mengenai agama Islam. Sejak itu setiap orang yang mengajarkan Al-Qur’an di sebut “Mush’ab”. Di Madinah Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zararah, dan dialah yang selalu mengimami mereka dalam shalat berjamaah, karena orang-orang Aus tidak suka diimami orang Khazraj dan sebaliknya.
ISLAMNYA SA’AD BIN MU’ADZ DAN USAID BIN HUDHAIR
Ibnu Ishaq meriwayatkan, As’ad bin Zararah dan Musha’ab bin ‘Umair dalam melakukan tugas dan dakwahnya mendatangi pemukiman Bani ‘Abdul-Asyhal dan pemukiman Bani Dzafar, yang masing-masing dipimpin oleh Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair. Dua orang pemimpin dua kabilah itu masih menganut agama nenek-moyang, yakni masih musyrik dan belum memeluk Islam. Ketika dua orang pemimpin itu (Sa’ad dan Usaid) mendengar kedatangan As’ad bin Zararah dan Mush’ab bin ‘Umair, Sa’ad berkata kepada Usaid: “Hai Usaid, temuilah dua orang yang datang ke pemukiman kita itu. Mereka bermaksud hendak merusak pikiran orang-orang lemah yang berada di kalangan kita. Usirlah mereka pergi dan laranglah mereka mendatangi lagi pemukiman kita. Kalau As’ad bin Zararah itu bukan anak bibiku (saudara misanku), aku sendirilah yang akan mengusir mereka!”
Usaid segera mengambil tombak pendek lalu pergi menemui As’ad bin Zararah dan Mush’ab bin ‘Umair. Ketika As’ad bin Zararah melihat Usaid berjalan menuju kepadanya, ia (As’ad) berkata kepada temannya (Mush’ab): “Hai Mush’ab, lihatlah orang yang menuju kemari itu, dia pemimpin kabilahnya. Dia datang hendak menemuimu. Usahakanlah sebaik-baiknya agar ia dapat kita tarik dan beriman kepada Allah!” Mush’ab menyahut: “Akan kucoba, insya Allah. Dia akan kuajak duduk bercakap-cakap.” Setelah tiba di depan As’ad dan Mush’ab, Usaid sambil tetap berdiri dan dengan gaya menggertak bertanya: “Ada keperluan apa kalian datang ke pemukiman kami?” Dengan lemah lembut Mush’ab menjawab: “Apakah tidak lebih baik kalau kita duduk bercakap-cakap dan Anda dapat mendengarkan apa yang hendak kukatakan?”
“Kalau Anda merasa puas tentu Anda dapat menyetujui dan mau menerimanya. Sebaliknya, kalau Anda tidak menyukainya kami akan pergi dari sini”.
Kelembutan sikap Mush’ab ternyata berkesan di dalam hati Usaid. Ia menyahut: “Kalau begitu baiklah!” Usaid menancapkan tombaknya di tanah lalu duduk bercakap-cakap dengan Mush’ab dan As’ad. Dalam kesempatan itu Mush’ab menjelaskan ajaran-ajaran agama Islam kepada Usaid dan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Setelah Mush’ab berhenti membacakan ayat-ayat Al-Qur’an Usaid menyatakan pendapatnya: “Alangkah baik dan indahnya untaian kalimat-kalimat itu! Apakah yang kalian lakukan bila kalian hendak memeluk agama itu?” (yakni agama Islam). Mush’ab menjelaskan: “Kami mandi dan bersuci. Bila Anda hendak memeluk Islam mandilah dulu, kemudian memakai pakaian bersih lalu mengucapkan dua kalimat syahadat.”
Usaid melaksanakan petunjuk yang diberikan oleh Mush’ab, kemudian ia sembahyang dua rakaat. Setelah itu ia berkata kepada Mush’ab dan As’ad: “Aku mempunyai seorang kawan yang jika ia telah menerima ajakan kalian tidak akan ada seorang pun dari kabilahnya yang akan ketinggalan. Baiklah, aku akan menyuruhnya datang menemui kalian.” Usaid kemudian kembali kepada Sa’ad yang ketika itu sedang duduk berbincang-bincang dengan orang-orang sekabilahnya di suatu tempat pertemuan. Ketika Usaid datang, Sa’ad keheran-heranan melihat perubahan wajah Usaid, ia berkata kepada teman-temannya: “Demi Allah, kulihat Usaid datang dengan wajah berlainan dari wajahnya ketika ia pergi!” Ia lalu bertanya: “Hai Usaid, apa yang telah kau lakukan? Sudahkah engkau berbicara dengan dua orang itu?”. Usaid menjawab: “Ya, aku sudah berbicara dengan mereka. Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu yang buruk pada mereka dan mereka sudah kularang datang lagi ke pemukiman kita…” Ia diam sejenak mencari akal bagaimana cara mempertemukan Sa’ad dengan Mush’ab dan As’ad. Selanjutnya ia berkata: “…Aku diberitahu bahwa Bani Haritsah telah siap menyerang As’ad bin Zararah dan hendak membunuhnya, karena mereka tahu bahwa As’ad itu anak bibimu.”
Sa’ad marah mendengar saudara misannya akan diserang oleh Bani Haritsah. Ia khawatir kalau-kalau apa yang dikatakan Usaid itu benar-benar akan terjadi. Cepat-cepat ia mengambil tombaknya lalu pergi mendatangi Musha’ab dan As’ad, namun ternyata dua orang yang didatanginya itu tenang-tenang saja, tidak menunjukkan tanda-tanda takut atau khawatir menghadapi serangan dari Bani Haritsah. Melihat kenyataan itu Sa’ad mengerti bahwa temannya (Usaid) tidak menghendaki lain kecuali agar ia (Sa’ad) mau bertemu dengan Mush’ab dan As’ad untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh kedua orang itu. Kepada As’ad bin Zararah, Sa’ad bertanya: “Hai AbuAmamah (nama panggilan As’ad), demi Allah, kalau engkau bukan kerabatku engkau tidak akan kuperlakukan seperti sekarang ini. Apakah di pemukiman kami ini engkau hendak membujuk kami supaya mau menerima sesuatu yang tidak kami sukai?”. Dengan halus dan ramah Mush’ab menjawab: “Apakah tidak lebih baik kalau Anda duduk dan mendengarkan lebih dulu? Bila Anda merasa puas dengan soal yang hendak kukatakan dan Anda menyukainya tentu Anda mau menerimanya, tetapi kalau Anda tidak menyukainya kami tidak akan memaksakan sesuatu yang tidak Anda sukai.”
Sa’ad menyahut: “Kalau begitu baiklah!” Ia lalu meletakkan tombaknya di tanah kemudian duduk. Kepadanya Mush’ab membacakan beberapa ayat Al-Qur’an, lalu menjelaskan ajaran-ajaran agama Islam. Setelah itu ia mengajak Sa’ad beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Pada saat itu Musha’ab dan As’ad melihat terjadinya perubahan pada wajah Sa’ad bin Muadz, sehingga kedua-duanya yakin bahwa Sa’ad bersedia memeluk Islam, sekalipun ia belum menyatakannya terus-terang. Keyakinan dua orang itu tidak meleset, sebab setelah Sa’ad diam sejenak, ia lalu pergi mandi bersuci, kemudian datang kembali untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah shalat dua rakaat Sa’ad mengambil tombaknya lalu kembali ke tengah kabilahnya. Di depan mereka ia berdiri dan berkata: “Hai Bani ‘Abdul-Asyhal, bagaimanakah pendapat kalian mengenai kepemimpinanku selama ini?” Mereka menyahut: “Anda tetap pemimpin yang mempunyai pikiran terbaik di kalangan kami!” Setelah mendengar kebulatan dukungan mereka kepada kepemimpinannya Sa’ad dengan tegas berkata: “Haram bagiku berbicara dengan setiap orang dari kalian, baik lelaki maupun perempuan, sebelum kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”. “Demi Allah, mulai saat itu tidak ada seorang lelaki maupun perempuan di pemukiman Bani Asyhal yang tidak memeluk Islam” Demikian kata As’ad bin Zararah dan Mush’ab bin ‘Umair. Dua orang bertobat itu (Sa’ad bin Mua’adz dan Usaid bin Hudhair) kemudian pulang. Mush’ab tinggal di rumah As’ad dan terus berdakwah hingga tak ada rumah seorang Anshar yang di dalamnya tidak terdapat pemeluk Islam, lelaki atau pun perempuan.
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi