TAHUN-TAHUN PERTAMA DI MADINAH
Abu Ayyub Al-Anshariy, yang nama aslinya Khalid bin Zaid An-NajjariyAl-Khazrajiy (dari puak Bani Najjar, kabilah Khazraj) bukanlah orang kaya. Namun terdorong oleh kecintaannya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ia bersama keluarganya merasa gembira, bahkan amat bersyukur atas kesediaan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tinggal sementara di rumahnya. Kesediaan beliau itu dirasa sebagai kemuliaan besar yang dilimpahkan Allah Subhanahu wa ta’ala kepadanya. Ia menjamu beliau dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
Sekalipun Abu Ayyub berulang-ulang menghendaki Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menempati ruangan bagian atas rumahnya, tetapi beliau memilih tinggal di ruangan bagian bawah, sehingga Abu Ayyub sendiri merasa canggung karena ia berpendapat tidak layak menempati ruangan atas, sedangkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berada di ruangan bawah. Demikian tinggi penghormatan yang diberikan Abu Ayyub dan keluarganya kepada beliau. Dengan tulus ikhlas mereka memberikan pelayanan yang diperlukan beliau. Abu Ayyub dalam menuturkan keadaan hari-hari pertama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di rumahnya, antara lain mengatakan: “Keluarga kami menghidangkan santap malam bagi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Setelah beliau makan, sisa makanan yang masih tinggal kami makan dengan harapan beroleh keberkahan. Ketika itu beliau menempati bagian bawah rumahku sedang aku sekeluarga menempati bagian atas. Pada suatu hari sebuah wadah penuh air di ruanganku jatuh dan airnya tumpah. Aku dan istriku khawatir kalau-kalau air yang tumpah itu menetes ke ruangan bawah dan mengganggu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Selimut satu-satunya yang kumiliki segera kuambil dan kupergunakan untuk mengeringkan air yang tumpah itu”. Demikian riwayat berasal dari Abu Ayyub sendiri yang dikemukakan oleh Ibnu Ishaq.
PEMBANGUNAN MASJID NABAWI DI KEDIAMAN RASULULLAH
Beberapa hari kemudian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memanggil dua orang anak yatim pemilik lapangan tempat penjemuran kurma untuk membicarakan pembelian lapangan tersebut. Di atas tanah itu beliau hendak membangun sebuah masjid. Setelah beliau memberitahukan maksudnya, dua orang anak yatim itu menjawab: “Tanah itu kami hibahkan kepada Anda, ya Rasulullah!” Beliau menolak pemberian hibah, kemudian setelah diadakan pembicaraan seperlunya beliau memutuskan akan membayar harga tanah tersebut. Dalam pembangunan masjid itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam turut bekerja mengangkut batu, kemudian diikuti oleh kaum Muslimin secara beramai-ramai. Sambil bekerja keras beliau bersenandung:”Ya Allah, imbalan terbaik adalah imbalan di akhirat, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar dan Muhajirin!”
Kaum Muslimin dengan perasaan gembira dan bahagia bekerja secara bergotong-royong membangun masjid bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Mereka tidak henti-hentinya memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah sambil sahut-menyahut menirukan untaian kalimat yang disenandungkan beliau. Tiap hari beliau bekerja memeras keringat bersama kaum Muhajirin dan Anshar. Masjid yang dibangun Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersama kaum Muslimin itu sangat sederhana, berbentuk segi empat dan temboknya terbuat dari adukan tanah liat campur pasir. Separuh dari bagian atasnya ditutup dengan atap terbuat dari pelepah daun kurma, sedangkan separuh sisanya dibiarkan terbuka. Sekitar masjid dibangun beberapa bilik-bilik tempat kediaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, dan pada salah satu sisi masjid dibangun tempat khusus untuk menampung fakir miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal. Pada malam hari tidak dipasang lampu dalam masjid. Hanya pada waktu-waktu shalat Isya ‘saja orang membakar jerami, sekedar untuk menerangi masjid dengan cahaya apinya.
Menurut Ibnu Katsir, tujuh bulan lamanya beliau tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Anshariy, kemudian setelah membangun masjid dan tempat tinggal selesai beliau pindah bersama keluarga ke tempat kediaman yang beliau bangun sendiri. Selama itu kaum Muslimin dari Makkah susul-menyusul berdatangan ke Madinah hingga tidak ada yang ketinggalan di Makkah selain mereka yang berada di dalam tahanan kaum musyrikin Quraisy. Sedangkan di Madinah sudah tak ada lagi keluarga kaum Anshar yang tidak memeluk Islam.
Soal pertama yang dipikirkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sejak hijrah ialah upaya mewujudkan ketenteraman dan keamanan bagi semua pemeluk agama Islam, dan menjamin kebebasan berakidah bagi mereka sebagaimana kebebasan yang dinikmati oleh para penganut agama lain. Setiap orang di Madinah, baik ia Muslim, Yahudi atau pun Nasrani harus menikmati persamaan dalam hal kemerdekaan beragama, karena kemerdekaan sajalah yang akan menjamin tegaknya kebenaran. Untuk memperkokoh persatuan dan kerukunan kaum Muslimin, langkah pertama yang beliau tempuh ialah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar atas dasar kasih sayang dan cinta-mencintai. Kaum Anshar berlomba-lomba membantu kaum Muhajirin dengan menyediakan tempat tinggal, perkakas rumah, uang, tanah garapan dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Bahkan mereka lebih mengutamakan kepentingan kaum Muhajirin daripada kepentingan mereka sendiri dan keluarganya. Tidak jarang terjadi peristiwa yang mengharukan. Beberapa orang Anshar dengan tulus ikhlas berkata kepada kaum Muhajirin: “Ambillah separuh dari hartaku. Aku mempunyai dua orang istri, lihatlah mana di antara mereka berdua itu yang engkau sukai. Ia akan kucerai dan nikahilah dia!” Tawaran seperti itu dijawab oleh kaum Muhajirin: “Semoga Allah tetap memberkahi hidupmu bersama keluargamu dan harta milikmu. Kami hanya mengharap pertolonganmu menunjukkan pasar, tempat aku dapat mencari nafkah dengan berjual-beli!”
Dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam meletakkan batu fondasi yang kokoh kuat bagi peradaban Islam. Batu fondasi itu ialah persaudaraan atas dasar prinsip kemanusiaan, persaudaraan yang membuat seorang Muslim belum dapat dipandang beriman sempurna selagi ia belum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam upayanya menegakkan persaudaraan itu tidak terbatas hanya dengan ucapan dan kata-kata, tetapi dengan amal perbuatan nyata beliau memberi contoh sebaik-baiknya. Beliau tidak mau menampilkan diri sebagai penguasa atau sebagai pemimpin. Kepada kaum Muslimin beliau menekankan: “Janganlah kalian mengagung-agungkan diriku seperti kaum Nasrani mengagung-agungkan putera Maryam. Aku ini bukan lain adalah hamba Allah dan Rasul-Nya!” Beliau bergurau dengan para sahabatnya, berbincang-bincang dan bergaul dengan mereka menghadiri undangan mereka, tidak membeda-bedakan apakah yang mengundang itu seorang budak, bukan budak, fakir atau pun miskin; beliau menjenguk tiap sahabatnya yang sedang sakit, kendati rumahnya jauh; bila bertemu dengan orang lain beliaulah yang mengucapkan salam dan mengajaknya bersalaman lebih dulu. Beliau seorang peramah dan banyak senyum. Beliau mencuci dan menambal sendiri pakaiannya yang kotor dan koyak; memerah susu sendiri; makan bersama pembantunya; berupaya menolong orang lemah, sengsara dan miskin; sangat rendah hati dan setia kepada janji. Setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berhasil baik dan puas menyaksikan persaudaraan kokoh-kuat di antara sesama kaum Muslimin, beliau mulai memikirkan kerukunan dan persatuan penduduk Madinah. Untuk itu beliau meletakkan tatanan politik, mengadakan persetujuan dengan kaum Yahudi atas dasar prinsip kemerdekaan. Sebagaimana kita ketahui, banyak orang Yahudi di Madinah yang menyambut baik kedatangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan harapan beliau secara berangsur-angsur akan mendekati mereka. Sambutan baik mereka itu dibalas sebagaimana mestinya. Beliau bercakap-cakap dengan tokoh-tokoh mereka, dan para pemimpin mereka pun mendekati beliau, hingga terjalin persahabatan antara kedua belah pihak. Semuanya itu beliau lakukan mengingat mereka itu adalah orang-orang Ahlul-Kitab yang mengakui keesaan Allah SWT. Ketika itu kiblat kaum Muslimin masih tetap Baitul-Maqdis yang oleh kaum Yahudi juga dipandang sebagai kiblat mereka. Hubungan persahabatan tersebut pada akhirnya melahirkan perjanjian bersama untuk lebih memperkokoh upaya menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama menurut keyakinannya masing-masing.
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi