KAUM YAHUDI DI MADINAH Bagian Ke-1
Sebagaimana telah kami utarakan pada bagian terdahulu, banyak sekali orang-orang Yahudi di masa silam berhijrah ke negeri Hijaz, khususnya ke Yastrib. Selama kurun waktu yang amat panjang mereka hidup di sana secara turun-temurun. Kendati watak dan lingkungan masyarakat mereka berlainan dengan watak dan lingkungan penduduk asli negeri itu (orang-orang Arab), namun di sana mereka dapat hidup dengan tenang dan aman. Orang-orang Yahudi di Yastrib (Madinah) pada umumnya terdiri dari suku Bani Qainuqa’. Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai pengrajin membuat perhiasan dari emas dan perak, membuat senjata dan alat-alat serta perkakas perang lainnya. Selain itu banyak pula yang bekerja sebagai pedagang, mereka mempunyai pasar-pasar dan tempat-tempat perniagaan besar.
Di daerah-daerah perbatasan sekitar Madinah bermukim orang-orang Yahudi dari suku Bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Pada umumnya mereka bekerja sebagai pedagang dan pengelola tanah-tanah perkebunan kurma, anggur dan lain-lain. Di dua daerah yang terletak di sebelah utara Madinah, yakni Khaibar dan Ummul-Qura, bermukim kelompok-kelompok masyarakat Yahudi dari suku-suku lain. Di antara mereka banyak yang mempunyai tanah-tanah pertanian dan perkebunan sangat luas. Demikian pula suku-suku Yahudi yang bermukim di Taima, Fadak dan daerah-daerah lainnya.
Kaum Yahudi, terutama para pendetanya, mengetahui dari Kitab Suci mereka (Taurat) bahwa pada akhir zaman akan datang seorang Nabi yang tinggal menetap di Madinah. Mengenai itu sejarah memberitakan kepada kita, bahwa seorang raja Arab di Yaman pada zaman dahulu, bernama Tubba’ As’ad Abu Karb, marah terhadap penduduk Madinah karena mereka membunuh anaknya secara gelap. Ia berkemas-kemas hendak berangkat ke Madinah membawa sejumlah pasukan dengan maksud hendak menghancurkan kota itu dan menumpas habis penduduknya, sebagai tindakan pembalasan. Akan tetapi sebelum ia mulai bertindak datanglah dua orang pendeta Yahudi dari Bani Quraidhah menghadap. Dua orang pendeta tersebut berkata: “Janganlah Anda berbuat seperti itu! Tindakan keras dan kejam terhadap penduduk Madinah akan mendatangkan bencana hebat menimpa diri Anda sendiri sebagai hukuman!” Tubba’ terperanjat mendengar peringatan demikian itu, lalu bertanya: “Kenapa?” Dua orang pendeta Yahudi itu menjawab: “Kota Madinah kelak akan menjadi tempat hijrah seorang Nabi yang akan datang pada akhir zaman, dan di kota itu jugalah ia akan bermukim dan bertempat tinggal”.
Apakah pengetahuan yang ada pada para pendeta Yahudi mengenai kedatangan seorang Nabi bernama Muhammad mendorong mereka untuk mengimani dan mempercayai kenabian dan kerasulannya? Tidak! Sebab, jauh sebelum itu mereka sudah menyimpan rasa permusuhan, kebencian dan kedengkian. Setelah Nabi yang mereka ketahui itu datang, semangat kebencian, kedengkian dan permusuhan yang tersimpan dalam hati mereka tambah mendalam. Mengapa demikian? Alasan satu-satunya bagi mereka ialah: Karena Allah memilih Nabi dan Rasul-Nya dari bangsa Arab, bukan dari bangsa Yahudi!
Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tiba di Madinah dan disambut hangat oleh orang-orang Arab dari kabilah Aus dan Khazraj (kaum Anshar), kedengkian dan kebencian kaum Yahudi terhadap beliau semakin meningkat, lebih-lebih lagi setelah beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin yang demi keridhaan Allah rela meninggalkan kampung halaman dan harta kekayaan di Makkah, dengan kaum Anshar di Madinah yang dengan tulus ikhlas membantu, melindungi dan membela Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan jiwa, raga dan harta benda.
Sekalipun demikian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak mengambil sikap permusuhan terhadap mereka. Beliau menetapkan adanya perjanjian di antara semua penduduk Madinah untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan kerukunan, tidak terkecuali kaum Yahudi. Dalam perjanjian itu kaum Yahudi beroleh jaminan perlakuan’yang baik, dijamin keselamatan jiwa dan harta benda mereka serta beroleh kebebasan menjalankan agamanya. Kepada mereka, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memberi perlakuan yang sama, tanpa membeda-bedakan kabilah Yahudi dan kabilah Arab, bahkan semuanya diberi hak dan kewajiban yang sama pula. Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan: “Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan, tidak akan diperlakukan secara zalim. Agama Yahudi bagi orang-orang Yahudi dan agama Islam bagi kaum Muslimin. Jika ada di antara mereka yang berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya sendiri dan keluarganya.”
Bagaimanakah pendapat Anda mengenai isi perjanjian seperti itu? Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memberitakan kepada mereka hak-hak yang sama dengan hak-hak yang diberikan kepada umat Muslimin? Adakah toleransi atau tenggang rasa yang lebih besar dari itu? Anda tidak akan dapat menemukan budi-baik setinggi itu, bila Anda mengetahui betapa besar bantuan yang diberikan orang-orang Yahudi kepada kaum musyrikin Quraisy dalam kegiatan menentang, mengganggu dan memusuhi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebelum beliau hijrah ke Madinah.
Apakah setelah itu kaum Yahudi mau menghargai dan menghormati perjanjian serta mau memelihara hak dan kewajiban dalam hubungan tetangga baik atau dalam hidup berdampingan secara damai? Kebencian dan kedengkian telah berakar dalam jiwa hingga menjadi watak dan perangai mereka. Sejarah menjadi saksi bahwa pendeta-pendeta Yahudi tidak henti-hentinya melancarkan permusuhan terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam atas dorongan perasaan dengki dan iri hati. Mereka terus-menerus memerangi beliau, kadang-kadang secara terang-terangan dan ada kalanya juga mereka lakukan secara terselubung. Beberapa gelintir orang Arab dari kabilah Aus dan Khazraj yang masih bertahan pada kejahiliyahannya bersekongkol dengan mereka, yaitu orang-orang munafik yang menampakkan diri sebagai orang beriman, tetapi hatinya penuh dengan kekufuran. Kaum munafik ini berada di bawah pimpinan ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul.
Dalam melancarkan permusuhan rerhadap Islam dan kaum Muslimin, mereka (orang-orang Yahudi) datang kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengajukan berbagai macam pertanyaan dengan iktikad buruk dan niat jahat. Mereka menanyakan soal-soal yang sulit atau yang dapat membingungkan orang lain, dengan maksud hendak mengaburkan kebenaran dengan hal-hal yang batil. Mereka mendorong-dorong kaum munafik supaya menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan harapan akan dapat menggoyahkan kenabian dan kerasulannya.
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi