RENCANA PEMBUNUHAN TERHADAP RASULULLAH
Setelah kaum musyrikin mengetahui makin banyak sahabat Nabi yang meninggalkan Makkah berhijrah ke Madinah membawa anak-istri dan harta benda untuk bergabung dengan kaum Anshar (Aus dan Khazraj), mulailah mereka (kaum musyrikin Quraisy) sadar bahwa kota Madinah merupakan tempat pengetahuan yang kokoh kuat bagi kaum Muslimin. Kaum Anshar yang mereka kenal sebagai orang-orang pemberani dan pantang menyerah kepada musuh pun dapat mereka pastikan akan menjadi tulang punggung kekuatan Islam. Karena itu mereka sangat khawatir kalau-kalau Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam akan pergi meninggalkan Makkah menyusul para sahabatnya dan bergabung dengan kaum Anshar. Jika itu terjadi maka kedudukan kaum Muslimin akan bertambah kuat.
Terdorong oleh kekhawatiran tersebut mereka berkumpul di sebuah tempat pertemuan (Darun-Nadwah) untuk merundingkan langkah-langkah yang hendak diambil terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Berdasarkan riwayat berasal dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Ibnu Ishaq mengatakan ketika mereka hendak memasuki tempat pertemuan , iblis yang menjelma sebagai seorang lelaki tua dan anggun, berpakaian kain kasar, menghadang mereka di pintu. Ketika mereka bertanya siapakah dia itu, ia menjawab: “Aku datang dari Najd. Aku mendengar kalian hendak mengadakan pertemuan untuk membicarakan soal Muhammad. Aku ingin mendengar apa yang hendak kalian katakan. Siapa tahu aku akan dapat menyumbangkan pendapat yang baik dan berguna.” Dalam pertemuan tersebut hadir tokoh-tokoh musyrikin Quraisy dan beberapa orang yang dikenal mempunyai kelincahan berpikir dan cerdas.
Mereka bertukar pikir, masing-masing mengemukakan pendapat mengenai cara terbaik untuk merenggut nyawa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Tiap mendengar pendapat yang dikemukakan oleh peserta pertemuan itu, iblis selalu menolak dan tidak dapat menyetujuinya. Tibalah giliran Abu Jahl berbicara: “Aku mempunyai pendapat, tetapi aku tak tahu apakah kalian setuju atau tidak”. Mereka bertanya: “Bagaimanakah pendapat Anda?” Ia lalu menjelaskan: “Aku berpendapat, sebaiknya kita mengambil seorang pemuda yang kuat dan berani dari setiap kabilah, kemudian kepadanya kita berikan sebilah pedang yang tajam, lalu mereka serentak membantai Muhammad. Dengan demikian semua kabilah akan memikul tanggung jawab bersama menghadapi tindakan pembalasan. Kita tidak tahu tindakan pembalasan apa yang akan dilakukan oleh Bani ‘Abdu Manaf, tetapi bagaimana pun juga mereka tidak mungkin dapat menghadapi kabilah yang banyak jumlahnya. Paling banter mereka hanya akan menuntut diyat, dan kita siap membayarnya!”. Pendapat Abu Jahl itu mendapat tanggapan baik dari iblis, lalu memujinya: “Sungguh cerdas dia! Itulah pendapat yang terbaik!”
Setelah kaum musyrikin mengambil keputusan sebagaimana yang diusulkan Abu Jahl, Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam memerintahkan beliau supaya malam itu tidak tidur di tempat pembaringannya sendiri. Dan di saat sinar matahari sedang terik-teriknya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam datang ke rumah Abubakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu. Mengenai kedatangan beliau ke rumah sahabat karibnya itu Ummul-Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menceritakan sebagai berikut: “Tidak sebagaimana bisanya, di saat sinar matahari sedang terik-reriknya Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam datang ke rumah kami. Ketika ayahku melihat beliau datang, ia berucap: “Pada saat-saat seperti sekarang ini beliau datang pasti membawa persoalan penting.” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam kemudian duduk bersama ayahku. Ketika itu di rumah tidak ada orang lain kecuali aku dan Asma, kakakku. Beliau memberitahu ayahku, bahwa Allah telah mengizinkan beliau berangkat hijrah. Ayahku bertanya: “Bolehkah aku menemani Anda, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Itulah yang kuharap!” Lebih jauh Ummul Mukminin berkata: “Aku belum pernah melihat orang menangis kegirangan seperti ayahku pada saat itu!”
Ibnul Ishaq mengatakan, tidak ada orang yang mengetahui rencana keberangkatan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ke Madinah selain ‘Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, Abubakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu dan beberapa orang anggota keluarganya. Mengenai ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu ia memang diperintahkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berangkat belakangan dan tetap tinggal di Makkah beberapa hari hingga selesai mengembalikan barang-barang amanat yang dititipkan orang kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Pada masa itu banyak orang di Makkah yang jika mengkhawatirkan keamanan harta bendanya, mereka lebih suka menitipkannya kepada beliau, mengingat kejujurannya yang sangat terkenal di kalangan masyarakatnya hingga beliau di sebut “Al-Amin” (Orang terpercaya).
Pada malam menjelang keberangkatan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ke Madinah, datang malaikat Jibril ‘alaihis salam membawa perintah agar beliau tidak tidur di tempat pembaringannya sendiri. Hendaknya menyuruh ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu menggantikannya tidur di tempat pembaringan beliau dengan berselimutkan kain buatan Hadramaut berwarna hijau.” Dari peristiwa tersebut kita menyaksikan, belum pernah terjadi dalam sejarah ada seorang yang demikian berani mengorbankan jiwanya seperti ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Para pendekar atau para pahlawan perang berani dan tabah menghadapi serangan musuh di medan perang karena mereka itu memegang senjata di tangan. Jauh sekali bedanya dengan orang yang tanpa senjata apa pun juga berani menghadapi ancaman maut dengan tenang, taat menjalani perintah orang yang dicintainya. Dialah ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Tanpa bimbang ragu ia berani berbaring di tempat tidur Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menghadapi bahaya yang akan merenggut nyawanya. Dengan tulus ikhlas ia melaksanakan perintah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam agar putera pamannya itu dapat lolos dari kepungan pedang yang hendak mengakhiri hidupnya. Keberanian dan kepahlawanan setinggi itu mungkin hanya pernah terjadi ketika Nabi Isma’il ‘alaihis salam menyerahkan diri untuk disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, demi terlaksananya perintah Ilahi!
Pada malam menjelang hijrah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melaksanakan petunjuk Ilahi yang dibawakan oleh malaikat Jibril ‘Alaihis salam. Beliau mempersiapkan segala sesuatunya sedemikian rupa hingga tidak diketahui oleh pemuda-pemuda musyrikin Quraisy yang ditugasi mengepung tempat kediaman beliau. Dari celah-celah dinding mereka mengintip tempat tidur beliau dan melihat di atasnya berbaring seorang lelaki. Mereka yakin bahwa yang berbaring dan berselimut itu pasti Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, karenanya mereka merasa senang melihat beliau tidak akan dapat meloloskan diri. Beberapa saat lewat tengah malam Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam keluar, mengambil segenggam pasir lalu ditaburkan ke atas kepala para pemuda yang sedang mengepung kediaman beliau. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengetahui beliau ke luar dari rumah. Ketika itu beliau membaca firman Allah, Surah Yaa Siin ayat 9: “Dan di depan mereka Kami ciptakan sekatan dan belakang mereka (pun) Kami ciptakan sekatan kemudian Kami tutup mata mereka hingga tak dapat melihat.” Setelah waktu yang ditentukan tiba, para pemuda yang mengintai sejak permulaan malam mulai menyergap masuk ke dalam rumah Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dengan pedang terhunus, di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid. ‘Ali bin Abi Thalib bangun dari tempat tidur meronta hendak melawan, tetapi mereka mundur terperanjat karena orang yang di depan mereka ternyata bukan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Mereka bertanya: “Di mana Muhammad?” ‘Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Aku tidak tahu ke mana beliau pergi.”
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi