بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و الصلاة و السلام على سيدنا محمد بن عبد الله و على آله و صحبه و من والاه؛ أما بعد
Dari sejak beberapa tahun lalu, mungkin lebih dari 12 tahun lalu, ketika saya melihat betapa besar semangat kaum muslimin merayakan tahun baru hijriyah yang agung, saya menyadari beberapa kenyataan pahit di tengah umat islam kendati semangat besar mereka dalam mereyakan tahun baru hijriyah. Kenyataan pahit tersebut adalah ketidaktahuan sebagian besar umat islam akan sejarah terperinci dari peristiwa agung hijrah baginda Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Dari sejak saat itu tergugah hati saya untuk menuliskan secara terperinci tentang sejarah hijrah. Bahkan saat itu terlintas di benak saya untuk menuliskannya dengan bahasa sastra arab yang indah sebagaimana kitab-kitab maulid yang selalu dibaca dan dilantunkan oleh para pecinta Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Kitab-kitab maulid berisi tentang sejarah kelahiran beliau, sebagaimana sejarah Isra dan Mi’raj beliau dibacakan dalam beberapa acara besar di bulan suci Rajab, dan sebagaimana syair-syair yang berisi tawassul kepada Allah dengan nama-nama pejuang suci Ahli Badr dan Uhud dibacakan pada tanggal 17 Ramadhan, maka harapan saya saat itu agar sejarah hijrah Baginda Al Mushthofa Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga dilantunkan pada perayaan-perayaan tahun baru hijriyah. Namun niat baik tersebut hingga saat ini belum terwujudkan, mudah-mudahan Allah mewujudkan mimpi indah saya tersebut.
Ulama mengatakan “Apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya namun dapat dicapai sebagiannya maka yang sebagian itu tidak patut untuk ditinggalkan” atas dasar itulah saya merangkum sejarah dan pelajaran serta renungan hijrah Baginda Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Sebenarnya saya tidak menulis sesuatu yang baru, namun saya hanya mengutip dari beberapa buku yang saya lihat sangat bagus dan akurat. Dari buku karya Al Habib Muhammad bin Husain bin Abdullah Al Hamid atau yang lebih dikenal dengan nama sahabat pena-nya H.M.H.Al Hamid Al Husaini yang berjudul “Riwayat Kehidupan Nabi Muhammad” dan dari kitab yang agung, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang berjudul “Fikih Sirah” karya seorang yang sangat saya kagumi dalam kesungguhannya kepada Allah, yang merupakan salah satu dari sumber inspirasi saya walau saya tidak pernah berjumpa kepada beliau, yaitu Asy Syeikh Asy Syahid Muhammad Said Ramadhan Al Buthi. Dari kedua karya tersebut saya mengutip dan meringkas dengan sedikit tambahan dan ringkasan serta beberapa hal yang terlintas di benak saya dari apa yang dapat saya fahami dari sejarah hijrah yang agung ini.
Harapan saya agar Allah SWT mengangkat derajat kedua ulama besar ini dan para ulama dan kaum solihin lainnya serta menjadikan rangkuman ini bermanfaat untuk sekalian hamba Allah dan menjadikannya sebagai penyebab kebersamaan dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam.
Ya Allah muliakan kami untuk melihat dan berjumpa dengan kekasih-Mu Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Muliakan kami untuk mencintainya lebih dari segala apapun. Muliakan kami untuk menggembirakan dan membahagiakannya. Muliakan kami untuk dapat menetap di bagian paling indah di dalam hatinya. Dan muliakan kami untuk menjadi pendampingnya di surga nanti, Ya Rabbal ‘Alamiin.
و صلى الله و سلم على سيدنا محمد و آله و صحبه و التابعين و الحمد لله رب العالمين أولا و آخرا ظاهرا و باطنا
Hamba yang lemah yang berharap tempat yang indah di hati beliau
Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan ibn Asy Syeikh Abi Bakar bin Salim
Al Fachriyah, 12 Muharram 1436 H / 5 November 2014 M
RASULULLAH MENDATANGI PEMUKIMAN KABILAH DI MEKKAH
Peristiwa hijrah diawali ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendatangi pemukiman kabilah-kabilah yang datang ke Mekkah pada musim haji. Dalam mengajak semua kabilah Arab memeluk agama Islam, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendatangi pemukiman-pemukiman mereka di Makkah dan sekitarnya. Beliau berkeliling memberitahu mereka bahwa beliau adalah seorang Nabi yang diutus Allah Subhanahu wa ta’ala membawakan agama yang benar bagi semua umat manusia. Beliau berseru agar mereka mempercayai hal itu. Namun, paman beliau yang bernama Abu Lahab tidak pernah membiarkan beliau berdakwah dengan leluasa. Kemana saja beliau pergi ia selalu membuntutinya dari belakang berteriak menganjur-anjurkan orang supaya tidak mendengarkan ajakan dan seruan beliau.
Ibnu Hisyam di dalam sirahnya dan Ibnu Jafir di dalam tarikhnya mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Al-Hasan bin ‘Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Al-‘Abbas yang menceritakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: “Aku mendengar Rabi’ah dan ‘Ubbad mengatakan kepada ayahku : Dahulu, ketika aku masih seorang pemuda, aku bersama ayahku berada di Mina. Aku melihat Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendatangi pemukiman kabilah-kabilah Arab dan berseru kepada mereka : ‘Hai Bani Fulan, aku seorang Nabi yang diutus Allah kepada kalian! Allah memerintahkan kalian supaya tidak menyembah selain Dia dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Allah memerintahkan juga supaya kalian meninggalkan sesembahan yang selama ini kalian puja-puja, dan supaya kalian beriman dan mempercayai diriku. Beliau berkeliling dari pemukiman yang satu ke pemukiman yang lain. Beliau diikuti dari belakang oleh seorang lelaki bermata juling dan memakai pakaian bagus buatan ‘Aden. Apabila Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam selesai berbicara, orang itu berteriak : Hai Bani Fulan, orang ini mengajak kalian supaya meninggalkan Al-Laata dan Al-‘Uzza dan pindah kepada agama bid’ah yang sesat. Mendengar teriakan itu aku bertanya kepada ayahku : Ayah, siapakah orang yang mengikuti Rasulullah dari belakang dan berteriak membantah kata-kata beliau? Ayahku menjawab : Itu Abu Lahab bin ‘Abdul-Muththalib, paman beliau sendiri!”
Para ahli sejarah Islam dan para penulis riwayat kehidupan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam semuanya mengatakan, bahwa Abu Lahab menyediakan waktu khusus untuk membohong-bohongkan Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam di mana saja Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berdakwah, Abu Lahab selalu membuntuti beliau dari belakang berteriak membantah kata-kata beliau dan berseru supaya orang berhati-hati terhadapnya. Semangat Abu Lahab membela dan mempertahankan berhala setinggi semangat Abu Thalib membela dan mempertahankan Islam. Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, dua orang manusia dari satu jenis. Beberapa penulis riwayat kehidupan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mengatakan, kedengkian Abu Lahab terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam karena ibu Abu Lahab seorang wanita dari kabilah Khuza’ah. Sebagaimana diketahui, orang-orang Bani Khu-za’ah dengki dan dendam terhadap orang-orang Bani Qushaiy karena Qushaiy itulah yang dahulu merebut kekuasaan Bani Khuza’ah atas Ka’bah.
Abu Lahab sendiri seorang yang mempunyai dua darah keturunan yang saling berlawanan. Dari pihak ayahnya ia seorang keturunan ‘Abdu Manaf dan dari pihak ibunya ia keturunan Bani Khuza’ah. Adapun istrinya, Ummu Jamil, ia adalah saudara perempuan Abu Sufyan bin Harb. Kedengkian dan gangguannya terhadap Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam tidak kurang dibanding dengan suaminya. Tiap ada kesempatan untuk mengganggu beliau atau untuk menghasut orang melawan beliau, Ummu Jamil termasuk orang yang paling cepat menggunakan kesempatan itu. Tiap melihat ada orang membenci Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, Ummu Jamil menusuk-nusuk, menghasut dan membakat hingga kebencian itu berkobar dan membara di dalam dada orang yang bersangkutan. Baik Abu Lahab maupun istrinya, Ummu Jamil, merasa kedudukan rumah tangga dan keluarga mereka semartabat dengan kedudukan rumah tangga dan keluarga ‘Abdullah bin ‘Abdul-Muththalib, karena Abu Lahab dan ‘Abdullah merupakan dua orang bersaudara dari satu ayah, yakni ‘Abdul-Muththalib. Di luar dugaan Abu Lahab dan istrinya, tiba-tiba Allah menurunkan kenabian kepada Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam ditengah keluarga ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib. Kenyataan tersebut membangkitkan perasaan dengki dan irihati dalam hati suami-istri Abu Lahab-ummu Jamil, karena mereka tahu bahwa kenabian berarti kehormatan dan kemuliaan yang luar biasa tingginya. Selain itu kenabian juga berarti kepemimpinan. Masalah itu mereka pandang sebagai suatu kebesaran yang tidak mungkin dapat disaingi dan merendahkan martabat Abu Lahab. Padahal ia seorang yang oleh Sa’id bin Al-‘Ash diangkat sebagai wakilnya dalam tugas memelihara, menjaga dan mengurus upacara-upacara penyembahan berhala. Tampaknya sudah menjadi suratan takdir bahwa dua orang suami-istri itu dikecam dan dikutuk beribu-ribu kali tiap hari oleh kaum Muslimin sedunia yang membaca Surat Al-Lahab di dalam Al-Qur’anul-Karim, bukan selama masa tertentu, melainkan sepanjang zaman hingga hari Kiamat.
Selain berkeliling mendatangi pemukiman kabilah-kabilah, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga sering menemui para utusan yang datang dari berbagai daerah di luar Makkah. Pada suatu hari datanglah utusan dari Madinah berupa rombongan dari Bani ‘Abdul-Asyhal dipimpin oleh Abul-Haisar Anas bin Rafi’. Di dalam rombongan tersebut terdapat seorang bernama Ayyas bin Mu’adz. Kedatangan mereka ke Makkah sesungguhnya bermaksud untuk mencari sekutu di kalangan kaum Quraisy guna menghadapi kabilah lawannya di Madinah, yaitu Khazraj. Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mendengar kedatangan mereka di Makkah, beliau mendatangi mereka untuk memberitahu bahwa beliau utusan Allah yang bertugas mengajak umat manusia supaya bersembah sujud hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Kepada mereka beliau menjelaskan ajaran-ajaran Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah mendengar penjelasan dan ajakan beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam, Ayyas bin Mu’adz, seorang pemuda di antara rombongan tersebut, berkata kepada kawan-kawannya: “Saudara-saudara, demi Allah, apa yang dijelaskan kepada kalian itu jauh lebih baik daripada maksud kedatangan kalian ke kota ini!” Mendengar kata-kata itu Anas bin Rafi’ marah lalu ia mengambil segenggam pasir kemudian dicampakkan ke muka Ayyas bin Mu’adz seraya berkata: “Jangan turut campur, kami datang tidak bermaksud untuk menerima ajakan orang itu!” Ayyas diam, tidak menyahut. Melihat pertengkaran itu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pergi meninggalkan mereka.
Sumber : “Sejarah Kehidupan Muhammad” dan “Fikih Sirah” Karya Al Habib Muhammad bin Husain Al Hamid dan Asy Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi