Apabila seseorang mengerjakan suatu amal ibadah dengan niat Ikhlas, kemudian setelah amal ibadah itu selesai dilaksanakan muncul perasaan riya yang berupa kegembiraan atas tampaknya amal itu tanpa kesengajaan, maka amal ibadah tersebut tidak menjadi batal. Namun apabila amal ibadah tersebut sengaja ditampakkan dan diceritakan kepada orang lain setelah selesai dikerjakan dengan maksud riya, amal tersebut dikhawatirkan menjadi batal.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa ia mendengar seseorang berkata, “Semalam aku mengkhatamkan surat al-Baqarah.” Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Itulah (kebanggaannya) pahala baginya.” Pendapat Ibnu Mas’ud menggunakan dalil bahwa hati orang tersebut saat membaca Al-Quran tidak bersih dari penyakit riya. Karena itu, jauh sekali untuk mengatakan bahwa riya yang terjadi setelah selesainya amal ibadah bisa membatalkannya. Akan tetapi, orang tersebut tetap memperoleh pahala atas ibadah yang telah ia kerjakan dan mendapat dosa atas riya yang diperbuat setelah mengerjakan ibadah. Berbeda apabila seseorang di tengah-tengah mengerjakan ibadahnya, tiba-tiba berniat riya. Hal itu bisa membatalkan shalat dan amal ibadahnya.
Selanjutnya, kegembiraan hati kala amal ibadah diketahui orang adakalanya hanya sekadar kegembiraan dan adakalanya menjadi motivasi seseorang dalam mengerjakan amal ibadahnya. Apabila itu menjadi motivasi dan seseorang menyelesaikan amal ibadahnya tetap dengan motivasi tersebut, pahala amal ibadahnya menjadi batal. Contohnya, seseorang mengingat sesuatu ketika sedang mengerjakan shalat. Seandainya tidak ada orang, niscaya ia membatalkan shalatnya. Maka, orang itu tidak mendapatkan pahala shalatnya dan harus mengulangi jika shalat tersebut shalat fardhu. Rasulullah Saw bersabda, “Amal itu bagaikan bejana. Apabila bagian atasnya bagus, bagian bawahnya pun demikian. Apabila bagian atasnya jelek, bagian bawahnya pun jelek.” Namun, sabda Nabi ini khusus berkenaan dengan masalah shalat, bukan mengenai sedekah dan membaca Al Quran. Sebab, setiap bagian dari sedekah dan membaca Al-Quran berdiri sendiri-sendiri. Maka, riya yang menimpa amal semisal sedekah dan membaca Al-Quran hanya merusak bagian akhirnya, sedangkan bagian awalnya tetap baik (berpahala). Adapun puasa dan haji statusnya sama seperti shalat.
Yang paling tepat menurut saya, suatu amal ibadah yang dilandasi oleh niat yang ikhlas lalu ditimpa riya di tengah amal ibadah itu dikerjakan, maka amal ibadah itu tetap dianggap bermotif ibadah. Kegembiraan yang dirasakan pelaku amal ibadah hanya dikarenakan amalnya diketahui orang sehingga itu tidak membatalkan amal ibadahnya.
Adapun dalil-dalil yang mencela riya bisa dipahami bahwa celaan itu hanya berlaku apabila pelaku ibadah hanya mengharapkan balasan dari makhluk Allah. Mengenai dalil yang menyatakan bahwa Allah tidak membutuhkan sekutu dalam amal ibadah hamba-Nya, maka itu bisa dipahami bahwa Allah murka apabila niat riya seseorang sama besar atau lebih besar daripada niatnya untuk mencari pahala. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa shalat yang diwajibkan kepada manusia adalah shalat yang ikhlas hanya untuk Allah. Ikhlas itu sendiri artinya tidak dikotori noda apa pun, dan hanya Allah Yang Mahatahu hakikatnya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz