Selanjutnya, riya adakalanya berbarengan dengan dimulainya suatu amal ibadah. Misalnya, seseorang memulai shalat dengan tujuan riya. Apabila niat riya itu tetap ada hingga ia mengucapkan salam, tidak ada perselisihan lagi bahwa ia harus mengganti shalatnya dan shalatnya itu dianggap tidak ada. Apabila ia menyesal karena telah berniat riya di tengah-tengah shalatnya dan beristighfar, maka ada tiga kemungkinan yang harus ia lakukan. Satu kelompok berpendapat, shalatnya batal. Kelompok lain mengatakan, ia hanya wajib mengulangi beberapa gerakan shalat, seperti ruku dan sujud. Sekelompok yang lain menilai, ia tidak wajib mengulangi shalatnya, tetapi wajib beristighfar di dalam hati dan meneruskan shalatnya hingga selesai dengan niat yang ikhlas. Adapun penilaian dilakukan terhadap akhir ibadahnya.
Yang lebih kuat dalam perspektif fiqih adalah apabila motivasi amal seseorang sejak awal hanya riya, maka amalnya tidak sah. Apabila ada dua motif dalam amalnya (yaitu motif riya dan motif pahala), maka boleh jadi amal itu meliputi sedekah atau membaca Al-Quran, perkara mubah, atau ibadah shalat atau haji. Apabila berupa sedekah, maka pelakunya dinyatakan berdosa karena mengikuti dorongan riya dan berbakti karena mengharapkan pahala. Allah Swt. berfirman, “Siapa yang berbuat setitik kebajikan, niscaya Allah mengetahuinya. Dan siapa yang berbuat setitik keburukan, niscaya Allah pun melihatnya” (QS Al Zalzalah [99]: 7-8). Karena itu, ia berhak atas pahala sebesar niatnya mencari pahala, dan berhak atas siksa sebesar riya di hatinya.
Adapun apabila amalnya berupa ibadah shalat, ada dua kemungkinan. Apabila shalatnya sunnah, hukumnya seperti amal sedekah. la dinyatakan bermaksiat dari satu sisi dan mendapatkan pahala dari sisi yang lain.
Apabila shalatnya wajib dan ada dua motif dalam mengerjakannya, dan dua motif tersebut saling mendukung tidak bisa berdiri sendiri, maka shalat tersebut tidak bisa menggugurkan kewajiban shalat seseorang. Namun apabila dua motif tersebut berdiri sendiri sendiri, ada perincian tersendiri. Bisa dikatakan bahwa kewajiban hamba adalah mengerjakan shalat yang benar-benar ikhlas. Bisa juga dikatakan bahwa kewajiban hamba adalah mengerjakan perintah dengan suatu motif atau niat yang berdiri sendiri, dan niat tersebut sudah ada.
Adapun apabila riya terkait dengan penyegeraan waktu shalat, maka sudah dipastikan bahwa shalat tetap sah. Sedangkan kegembiraan karena shalat diketahui orang dan kegembiraan itu tidak sampai memengaruhi shalat tersebut tidak dianggap membatalkan shalat.
Jadi, itulah yang saya nilai lebih selaras dengan kaidah-kaidah fiqih, Namun, Allah-lah Yang Mahatahu. Dia mengetahui yang gaib dan yang tampak; dan Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz