Adapun sifat-sifat asasi seorang pendidik / orang tua dalam mendidik anak yang perlu diperhatikan antara lain :
- Menjadi teladan yang baik dalam ilmu dan amal
Perilaku guru atau orang tua sangat berpengaruh terhadap perilaku anak, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, karena guru sebagai contoh teladan terhadap anak didiknya. Anak tidak akan mungkin berperilaku baik apabila orang tuanya berperilaku buruk. Jadi ada ketergantungan dan timbal balik antara anak didik dan guru atau orang tua.
Sebelum memberikan contoh yang baik kepada siswa, terlebih dahulu guru atau orang tua mengamalkan apa yang diajarkan Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَمَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوْا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapalah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar dosa di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al Shaff : 2-3)
Sungguh ironis jika guru atau orang tua mengajarkan nilai-nilai keagamaan mengenai bagaimana berperilaku baik, akan tetapi justru guru mencerminkan perilaku buruk. Pendidikan agama mutlak bagi seluruh lingkungan sekolah, karena memberikan pemahaman dalam pembinaan sikap mental dan kepribadian anak didik.
Peran guru atau orang tua harus tetap mengingatkan kepada anak agar selalu bersikap saling menghormati, saling menghargai antar sesama teman. Maka secara tidak langsung anak akan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian ada perasaan bagi anak untuk mengevaluasi diri dari perilaku buruk yang dilakukan sebelumnya.
Seorang guru adalah pemimpin bagi anak didiknya dalam dunia pendidikan. Sementara orang tua akan mengambil alih peran tersebut jika sang anak sudah kembali ke rumah. Allah SWT mengisahkan perkataan Nabi Syu’ab kepada kaumnya :
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ
Artinya : “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (QS. Al Huud : 88)
عَنْ أَبِى عَامِرٍ جَابِرٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِى الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Artinya : “Dari Abu Amir Jabir bin Abdullah, dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Beliau bersabda : “Barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang meng-amalkannya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa memberikan contoh yang jelek, dia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikuti dia, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa seorang pendidik hendaknya berupaya menjaga agar perbuatannya tidak menyalahi ucapannya, terutama di hadapan anak-anak didiknya. Karena hal ini akan menjatuhkan kewibawaannya dan menghilangkan berkah ilmunya, serta bisa membinasakan dirinya sendiri. Allah SWT berfirman :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّوَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Artinya : “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?.” (QS. Al Baqarah : 44)
Sumber : Pendididkan Anak dalam Islam – Kasyful Anwar Syarwani