4. Bergembira Menyambut Kelahiran Sang Bayi
Bagaimana sikap yang benar bagi orang tua ketika mendapatkan karunia berupa anak, baik laki-laki maupun perempuan? Sikap yang benar menurut Allah dan Rasul-Nya adalah seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Hud : 69
وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيْمَ بِالْبُشْرَى قَالُوْا سَلاَمًا
Artinya : “Dan sesungguhnya telah datang utusan-utusan kami kepada Ibrahim dengan (membawa) khabar gembira sambil mereka berkata “selamat” la jawab: “selamat”.
Ayat ini menjelaskan ketika Nabi Ibrahim diberi kabar oleh malaikat bahwa Allah SWT akan mengaruniai beliau seorang putera, maka Ibrahim menyatakan kegembiraan dengan ucapan selamat sejahtera. Sikap semacam ini Allah kisahkan dalam Al-qur’an untuk mendidik para orang tua agar menyambutnya dengan penuh kegembiraan bila dikaruniai Allah seorang putera atau puteri.
Allah menyatakan bahwa seorang yang dikaruniai anak berarti mendapatkan kegembiraan sebaliknya sikap orang tua yang dalam menyambut kelahiran bayinya dengan rasa sedih dan malu, benar-benar merupakan kelainan jiwa, seperti yang terjadi pada masyarakat jahiliyah. Sebab anak merupakan perhiasan bagi orang tua dan setiap orang yang sehat akalnya tentu senang mempunyai perhiasan, maka dengan sendirinya anak menjadi bagian dalam membina hidup gembira pada diri orang tuanya.
Lalu bagaimana halnya dengan seorang wanita yang mengandung hasil dari perzinahan? Adakah akan diperoleh suasana gembira dalam menyambut bayinya, karena ayahnya secara hukum tidak ada? Kasus ini banyak terjadi di masyarakat. Dari pengalaman selama ini, menunjukkan bahwa si lakilaki yang membenihi wanita tersebut tidak mau menyambut bayinya dengan gembira bahkan melarikan diri. Dari fakta semacam ini, dapat kita ketahui bahwa ayah yang gembira menyambut kelahiran bayinya adalah ayah yang sah dan benar secara hukum syar’i maupun secara biologis. Kemudian apakah ada ayah secara biologis saja, tapi secara hukum tidak diakui atau sebaliknya? Ayah secara biologis adalah laki-laki yang membenihi seorang wanita dengan cara yang tidak sah menurut hukum Islam. Sedang ayah secara hukum saja, seperti yang dikenal dalam hukum adopsi, tidaklah dibenarkan oleh Islam. Maka ayah yang benar-benar dikehendaki oleh QS. Hud : 69 adalah ayah yang dalam pengertian syar’i.
Pelajaran yang kita peroleh dari ayat di atas ialah bahwa kalau sepasang suami – istri menjadi bingung atau gelisah karena tidak mempunyai anak, maka sikap hal semacam itu adalah wajar. Karena Allah telah menciptakan pada diri manusia suatu fitrah cinta kepada anak. Sebagai bukti, keluarga-keluarga yang tidak mendapatkan seorang anak bersedia mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk melakukan pengobatan kandungan atau pengobatan hormon pada laki-laki dengan harapan dapat mempunyai anak.
Karena begitu besarnya dambaan manusia pada anak, maka tepatlah jika Allah SWT mengatakan bahwa ayah yang menyambut bayinya dipenuhi dengan perasaan “Busyraa” kegembiraan yang memuaskan hati. Jadi jika kita berumah tangga kemudian tidak memperoleh anak, maka patutlah jika keluarga semacam itu merasa kesepian dan murung, karena apa yang didambakannya tidak kunjung datang. Dengan demikian bahagialah pasangan suami – istri yang dikaruniai Allah banyak anak.
Sumber : Pendididkan Anak dalam Islam – Kasyful Anwar Syarwani