Penyakit Kedelapan: Melaknat atau Mengutuk
Melaknat termasuk perbuatan yang tercela, baik melaknat binatang, benda mati, apalagi manusia. Dalam hal ini, Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda “Seorang mukmin itu bukan orang yang suka mengutuk”
Hudzaifah berkata,”Kaum yang saling mengutuk pasti akan menanggung akibat ucapannya!”
Imran bin Hushain berkata, “Ketika Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam dalam perjalanan, tiba-tiba beliau bertemu dengan wanita Anshar berada di atas untanya, karena merasa kesal terhadap untanya, wanita mengutuknya. Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda. ‘Ambillah sesuatu yang di atas unta itu, lalu lepaskan pelananya, karena unta itu telah terkutuk. Imran ibn Hushain berkata, “Aku melihat unta itu sedang berjalan-jaian tengah manusia. tidak ada seorang pun yang mengganggunya!”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda: “Para pengutuk itu tidak dapat menjadi orang yang bisa memberi syafaat dan menjadi saksi pada Hari Kiamat.
Anas r.a. berkata, “Ada seseorang bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam diatas untanya. Tiba-tiba lelaki itu mengutuk untanya. Maka beliau berkata ‘Wahai hamba Allah! Engkau jangan ikut bersama kami di atas unta yang terkutuk ini.”
Ada tiga golongan yang pantas mendapatkan kutukan, yaitu: 1) Pelaku kekufuran, 2). Pelaku bid’ah, 3). Pelaku kefasikan. Tingkatan kutukan itu juga dibagi atas tiga bagian: Tingkatan pertama: mengutuk secara umum. Seperti ucapanmu, “Semoga Allah mengutuk orang-orang kafir, para pelaku bid’ah dan orang-orang fasik!”
Tingkatan kedua: mengutuk dengan sifat yang lebih khusus. Misalnya, ucapan seseorang, “Semoga Allah mengutuk orang Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, golongan Khawarij, Rawafidh, Qadariah, pelaku ke zaliman dan para pemakan riba!” Mengutuk dengan ucapan yang demikian itu dipcrbolehkan. Tetapi, mengutuk dalam masalah bid’ah berbahaya. Untuk itu, kutukan dalam bid’ah sebaiknya dihindari dari orang awam, karena hal itu akan mengundang perlawanan dan mengobarkan konflik dan kerusakan.
Tingkatan ketiga: mengutuk orang tertentu. Ini amat berbahaya dan dilarang.
Boleh melaknat orang yang dikutuk dengan tegas oleh syariat Islam. Seperti halnya ucapan, “Semoga Firaun dikutuk Allah dan semoga Abu Jahal dikutuk Allah!” Karena mereka telah mati dalam keadaan kufur dan hal itu dijelaskan dalam agama.
Adapun melaknat orang tertentu yang hidup sezaman, yang tidak ada nash yang menegaskan bahwa ia akan mati dalam kekufuran, maka hal ini tidak dibolehkan, karena ada kemungkinan ia akan masuk Islam atau bertobat dan kembali pada Sunnah serta jalan yang lurus.
Jika engkau sudah mengetahui keharaman melaknat seorang kafir, maka melaknat pelaku fasiq dan bid’ah lebih utama keharamannya.
Tatkala salah seorang sahabat ada yang beberapa kali dicambuk karena meminum khamar, sebagian sahabat berkata, “Semoga Allah mengutuknya, banyak sekali kesalahan yang telah dilakukannya.” Rasulullah lalu bersabda, “Janganlah menjadi penolong setan terhadap saudara kalian dan janganlah berkata demikian, karena sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah bersabda, “Setiap orang yang menuduh kufur atau fasiq kepada orang lain, tuduhan itu pasti kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak seperti apa yang ia tuduhkan.”
Jika ada orang yang bertanya, “Apakah boleh mengatakan, ‘Semoga pembunuh si Fulan (seseorang yang saleh dan baik) begitu pula dengan orang yang menyuruh membunuhnya dikutuk oleh Allah!’ Maka kami menjawab, “Yang benar adalah mengatakan, ‘Jika pembunuh si Fulan itu mati sebelum bertobat, mudah-mudahan ia dikutuk oleh Allah!” Wahsyi ibn Harb telah membunuh Hamzah, paman Rasulullah Saw, kemudian ia bertobat dari kekufuran. Karena itu, ia tidak boleh dikutuk.
Seorang mukmin hendaklah tidak meremehkan kutukan. Karena, orang mukmin itu bukan pcngutuk dan pcnghujat, lebih baik berzikir kepada Allah.
Makki ibn Ibrahim berkata, “Pada waktu aku di dekat Ibnu Aun, tiba-tiba ada sekelompok orang menyebut-nyebut Bilal ibn Abi Burdah dan mengutuknya, sedangkan Ibnu Aun tetap diam. Mereka lantas bertanya, Hai Ibnu Aun! Aku menyebut-nyebut Bilal ibn Abi Burdah karena ia telah menyakiti dan berbuat dosa kepadamu!’ Ibnu Aun menjawab, ‘Sesungguhnya akan keluar dua kalimat dari lembaran catatan amalku pada Hari Kiamat nanti, yaitu ‘La ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah)’ dan ‘La’anallahu fulan (terkutuklah fulan)’. Maka, keluarnya kalimat ‘La ilaha illallah lebih suka daripada keluarnya kalimat, ‘La’anallahu fulan!” Dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Melaknat seorang mukmin sama seperti membunuhnya.”
Mendoakan keburukan untuk seseorang tidak beda hukumnya dengan melaknatnya, seperti jika seorang berkata, “Semoga Allah tidak memberi kesehatan pada fisiknya, dan semoga Allah tidak memberi keselamatan kepadanya.” Dan ucapan-ucapan lain seperti itu.
Sesuatu yang mendekati kutukan adalah mendoakan keburukan kepada seseorang. Seperti doa, “Semoga Allah tidak menyehatkannya dan semoga Allah tidak menyelamatkannya.” Atau doa-doa yang sejenis dengannya.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz