Penyakit Keempat: Perdebatan (Mira’ & Jidal)
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Siapa yang meninggalkan perdebatan (mira’), padahal dia benar, akan dibangunkan untuknya rumah di bagian tertinggi surga. Dan siapa yang meninggalkan perdebatan (mira’) dan dia salah, akan dibangunkan untuknya rumah di bagian terbawah surga!’
Beliau juga bersabda, “Tidak akan tersesat suatu kaum yang telah diberi petunjuk oleh Allah Swt, kecuali jika didatangkan kepada mereka perdebatan (jidal).“
Umar r.a. mengatakan, “Jangan kau pelajari ilmu untuk tiga hal, dan jangan pula kau tinggalkan karena tiga hal. Jangan kau pelajari ilmu untuk berdebat, membanggakan diri, dan berlaku riya. Dan jangan kau tinggalkan ilmu karena malu mempelajarinya, hendak mengabaikannya, dan rela dengan kebodohan.”
Maimun bin Mahran ditanya, “Mengapa tidak kautinggalkan saja saudaramu padahal ia membencimu? Ia menjawab, “Karena aku tidak pernah mendebatnya.”
Perdebatan (mira’) adalah pembantahan terhadap ucapan lawan bicara dengan membeberkan kecacatan ucapannya, baik redaksinya, maknanya, maupun maksudnya.. Meninggalkan perdebatan berarti meninggalkan penolakan dan penyanggahan. Jika hal yang engkau dengarkan benar, katakan itu benar. Namun, jika itu tidak benar atau dusta yang tidak terkait dengan persoalan agama, diamkan saja.
Adapun perdebatan (jidal) adalah kesengajaan untuk membungkam lawan bicara, melemahkannya, serta memperlihatkan dan mencela kekurangan ucapannya. Penyebab perdebatan adalah [1] keinginan untuk menonjolkan diri dengan memperlihatkan keilmuan dan kelebihan, dan [2] keinginan untuk menjatuhkan orang lain dengan menampakkan kekurangannya. Kedua keinginan tersebut termasuk sifat yang mencelakakan (muhlikat), dan berbahan bakar perdebatan. Siapa yang gemar berdebat, ia menguatkan sifat yang mencelakakan tersebut.
Cara penyembuhannya adalah dengan mengekang sifat tinggi hati dan elemen binatang buas (sabu’iyyah), yang akan saya jelaskan dalam bab “Mencela Kesombongan dan Ujub” dan “Mencela Kemarahan, Kedengkian, dan Iri Hati”.
Abu Hanifah berkata kepada Dawud Ath-Tha’i, “Mengapa engkau lebih suka menyendiri?” Dawud menjawab, “Karena aku sedang berjuang untuk meninggalkan perdebatan.” Lantas Abu Hanifah mengatakan, “Datanglah (dikeramaian), dengarkan, dan jangan berbicara.” Kemudian Dawud menceritakan, “Aku sudah melakukan nasihat Abu Hanifah. Ternyata, tidak ada perjuangan yang lebih sulit bagiku melebihi nasihatnya tersebut.” Barang siapa terbiasa berdebat, lalu orang-orang memujinya, lantas ia merasa mulia dan diterima banyak orang, sesungguhnya sifat-sifat yang mencelakakan itu telah menancap kuat pada dirinya dan ia tidak mampu mencabutnya.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz