Dusta yang Samar
Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf bahwa dusta yang samar cukup untuk menghindarkan diri dari berdusta. Yang mereka maksud adalah dalam keadaan terdesak. jika tidak terdapat keperluan untuk berdusta. maka berdusta secara samar ataupun secara terang-terangan tidak diperbolehkan. Akan tetapi, berdusta secara samar lebih ringan hukumnya.
Ketika Ibrahim An-Nakhai dicari orang yang tidak disukainya, padahal ia berada di rumah, maka ia berkata kepada budak wanitanya; “Katakan kepadanya. ‘Silakan cari dia di masjid!’ dan jangan engkau katakan. ‘Ia tidak ada di rumah!’ agar tidak dusta!” Hal demikian adalah saat diperlukan.Adapun saat tidak ada keperluan maka tidak diperkenankan untuk berkata demikian.
Diriwayatkan oleh Abdullah ibn llthah bahwa ia berkata. “Aku pernah bersama ayahku menghadap Umar ibn Abdul Aziz. Lalu aku keluar dengan pakaian tertentu, lantas ada orang bertanya, ‘Apakah pakaian ini dari Amirul Mukminin?’ Aku menjawab, ‘Mudah-mudahan Allah membalas Amirul Mukminin dengan kebaikan!’Ayahku kemudian berkata. ‘Wahai anakku. Hindarilah dusta dan apa yang serupa dengannya.'”
Ayahnya melarang melakukan semi dusta seperti itu. karena dengan tujuan membanggakan diri. Dan ini merupakan tujuan yang batil.
Perkataan semi dusta itu diperbolehkan untuk tujuan yang ringan. sehagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam., “Suami kamu yang dimatanya ada sesuatu yang putih.” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata pada wanita lainnya, “Kami akan membawa engkau di atas anak unta.”
Termasuk dusta yang biasa dilakukan dan dianggap remeh adalah orang yang dipersilahkan makan, lalu orang itu berkata. “Aku tidak berselera makan !”
Asma binti Yazid berkata, “Pada suatu malam aku bersama beberapa wanita menemui Aisyah saat ia pertama kali akan disandingkan dengan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Aku tidak mendapatkan suguhan selain semangkok susu, lalu beliau minum dan memberikannya kepada Aisyah, tetapi rupanya Aisyah merasa malu. Aku berkata kepada Aisyah, ‘jangan engkau tolak apa yang diberikan Rasulullah dengan tangannya,’ Dengan agak malu, Aisyah mengambil dan meminumnya. Kemudian Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam berkata. “Berikanlah kepada teman-temanmu!’ Para wanita itu menjawab, ‘Kami tidak menginginkannya!’ Rasulullah lantas berkata. ‘jangan kalian menggabungkan lapar dan dusta!'”
Dalam riwayat Imam Ahmad ada tambahan redaksi. aku bertanya. “Ya Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyukai sesuatu, tetapi ia berkata tidak menyukainya, apakah perkataan itu termasuk dusta?” Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam lalu bersabda, “Sesungguhnya dusta itu ditulis sebagai dusta dan dusta kecil pun ditulis sebagai dusta kecil.”
Al-Laits ibn Sa’ad berkata,”Ketika kedua mata Sa’id ibn Al-Musayyib sakit, kotoran keluar dari matanya, ada orang yang berkata kepadanya, ‘Bagaimana jika kedua matamu itu engkau usap?’ Sa’id menjawab, ‘Bagaimana aku akan berkata kepada dokter. padahal ia berpesan kepadaku. ‘jangan kau usap kedua matamu!’ Kemudian nanti aku berkata. ‘Aku tidak melakukan hal itu.” Ucapan seperti ini merupakan kehati-hatian orang yang wara’.
Berdusta saat menceritakan mimpi termasuk dosa besar, sebagaimana sabda Rasulullah; “Di antara dusta yang besar adalah apabila seseorang mengaku keturunan dari orang yang bukan ayahnya. atau mengaku melihat sesuatu dalam mimpi padahal ia tidak melihatnya, atau ia mengatakan atas namaku tentang sesuatu yang tidak pernah aku katakan.”
Di dalam riwayat lain. “Di antara dusta yang paling besar adalah mengaku bermimpi sesuatu yang tidak ia mimpikan.”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda: “Barangsiapa berdusta tentang suatu mimpi, maka pada Hari Kiamat ia akan dipaksa mengikat rambut”
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz