Ketiga, sombong kepada sesama manusia. Dengan kesombongan ini, seseorang menolak untuk patuh kepada sesamanya, merendahkan mereka, dan tidak mau disamakan dengan mereka. Meskipun tingkatan kesombongan ketiga ini lebih rendah daripada yang pertama dan kedua, tetapi tetap saja besar dosanya. Hal ini disebabkan dua hal.
Pertama, karena kesombongan, ketinggian hati, dan keagungan hanya layak dimiliki oleh Sang Raja Yang Mahakuasa. Adapun hamba yang lemah, apakah ia pantas memiliki sifat sombong? Ketika seorang hamba berlaku sombong, sebenarnya ia telah menantang Allah dalam suatu sifat yang hanya layak disandang oleh-Nya. Maka barang siapa menyombongkan diri kepada sesamanya, sesungguhnya ia telah mengambil satu hak Allah. Meskipun begitu, ada perbedaan antara penentangan ini dan penentangan yang dilakukan Namrudz dan Fir’aun. Fir’aun dan Namrudz menentang Allah secara langsung, sedangkan pada kasus ini seseorang yang berlaku sombong mengambil hak Allah dalam merendahkan mahkluk-Nya.
Kedua, karena kesombongan tingkat ketiga ini bisa menyebabkan seseorang membangkang kepada Allah. Pasalnya, jika orang sombong mendengar kebenaran, ia akan menolak untuk menerimanya. Karena itulah, Anda bisa melihat para ahli debat mengaku menyelidiki berbagai rahasia ajaran agama, tetapi mereka kemudian saling menyanggah. Meskipun kebenaran sudah terlihat terang benderang melalui pendapat salah seorang di antara mereka, pihak yang lain akan enggan menerimanya, keras kepala dengan keangkuhannya dan membantahnya dengan berbagai cara. Itulah di antara sifat-sifat orang kafir dan munafik. Allah Swt. telah berfirman, Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Quran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya agar kamu dapat mengalahkan (mereka). Maka, setiap orang yang berdebat adalah dengan maksud mengalahkan dan membungkam, bukan untuk mendapatkan kebenaran, telah berpartisipasi mendayagunakan sifat ini dan mempergunakannya untuk menolak menerima nasihat. Allah Swt. berfirman, Dan apabila dikatakan kepadanya. “Bertakwalah kepada Allah” maka ia tertarik oleh kebanggaannya dengan dosa. Ibnu Mas’ud menafsirkan, “Jika seseorang dinasihati, ‘Bertakwalah kepada Allah,’ lalu dia menjawab, ‘Uruslah dirimu sendiri!’ cukuplah itu membuatnya berdosa.”
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah mengatakan kepada seorang lelaki, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Lelaki itu menjawab, “Aku tidak bisa.” Rasulullah pun mengatakan, “Kamu tidak akan bisa!” Kesombonganlah yang menghalanginya untuk makan dengan tangan kanan. Setelah itu lelaki itu tidak dapat mengangkat tangan kanannya lagi. Jadi, kesombongannya kepada sesama manusia membuatnya berlaku sombong terhadap perintah Allah. Iblis dijadikan contoh dalam kasus ini tidak lain agar bisa dijadikan pelajaran. Iblis mengatakan, “Aku lebih baik daripada Adam.” Awalnya ia hanya menyombongkan diri dan iri kepada Adam. Namun, hal itu kemudian menggiringnya berlaku sombong terhadap perintah Allah. Inilah penyebab kehancuran iblis untuk selama-lamanya.
Dengan demikian, setiap orang yang melihat dirinya lebih baik daripada saudaranya atau menolak kebenaran, padahal ia sadar bahwa itu memang benar, sesungguhnya ia telah berlaku sombong kepada sesamanya. Dan barang siapa menolak untuk tunduk kepada Allah dan menolak bersikap rendah hati kepada-Nya. dengan tidak menaati perintah-perintah-Nya dan mengikuti para utusan-Nya, sebenarnya ia telah menyombongkan diri kepada Allah dan para rasul-Nya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz