Allah Swt. mengabarkan keadaan orang-orang Nasrani, seraya berfirman, Maka setelah mereka, datanglah generasi (yang jahat yang mewarisi Taurat (QS Al-A’raf |7]: 169). Maksudnya, orang-orang yang alim, Yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini (QS Al-A’raf [7]: 169). Maksudnya, mengikuti nafsu-nafsu duniawi mereka, baik yang halal maupun yang haram. Padahal Allah telah menyatakan. Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga (QS Al-Rahman [55]: 46). Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (menghadap) ke hadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku (QS Ibrahim [14]: 14). Tidak ada seorang pun yang benar-benar merenungkan isi Al-Quran. kecuali ia akan bertambah takutnya kepada Allah jika ia mempercayai isi nya. Tetapi lihatlah manusia sekarang. Mereka membaca Al-Quran dengan tergesa-gesa, mempertontonkan bacaannya laksana syair dan mereka tidak memperhatikan maknanya. Inilah contoh keteperdayaan dalam ketaatan kepada Allah, dan perbedaan antara harapan dan keteperdayaan.
Hampir sama dengan mereka adalah keteperdayaan segolongan orang yang kemaksiatan mereka lebih banyak daripada kebaikan mereka, tetapi mereka mengira timbangan kebaikan mereka lebih banyak. Salah seorang dari mereka menyedekahkan satu dirham yang dikumpulkan dari usaha yang halal dan haram, tetapi ia memakan harta umat Islam dan harta-harta syubhat berlipat-lipat lebih banyak. Namun, ia mengira bahwa memakan seribu dirham uang haram bisa ditutupi dengan bersedekah sepuluh dirham. Ini seperti seseorang yang meletakkan sepuluh di satu papan timbangan, dan seribu di papan yang lain, lalu ia berharap papan yang berisi sepuluh lebih berat.
Di antara mereka ada pula orang yang menyangka kebaikannya lebih banyak karena ia tidak mengintrospeksi amal perbuatannya. Apabila melakukan suatu kebaikan, misalnya membaca istigfar atau tasbih sebanyak seratus kali, ia mengingatnya. Kemudian ia menggunjing Muslim lainnya, mencabik-cabik kehormatan mereka, dan berbicara yang tidak baik dengan yang tidak diridhai oleh Allah sepanjang hari tanpa hitungan. la mengingat istighfarnya yang sebanyak seratus, tetapi lupa terhadap kemaksiatannya sepanjang siang. Padahal itu pun dicatat oleh para malaikat pencatat. Allah Swt berfirman, Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya, meiainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat) (QS Qaf [50]: 18). Jadi, orang ini mengingat pahala bacaan tasbihnya, tetapi tidak memperhatikan dosa-dosa dari menggunjing. Seandainya para malaikat pencatat meminta kepadanya upah atas jasa mencatat dosa-dosanya, niscaya ia akan menghentikan lidahnya dari sejumlah ucapan dan memperhitungkan betul apa yang ia ucapkan.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz