Pada kasus pertama, harapan si pendosa meredam pesimisme yang bisa menghalanginya bertobat. Pada kasus kedua, si pemalas meredam kemalasan yang menghalanginya bergairah dalam beribadah. Jadi, semua hal yang mendorong seseorang untuk bertobat atau bersemangat dalam beribadah adalah harapan yang benar [raja). Sebaliknya, segala hal yang menimbulkan kemalasan dan kecenderungan untuk tidak beramal adalah tipu daya.
Contoh lainnya, seseorang tebersit di benaknya untuk meninggalkan dosa dan hendak bertobat, lalu setan berkata kepadanya, “Ada apa denganmu? Mengapa engkau menyakiti dirimu? Bukankah Tuhanmu Maha Pemurah, Maha Pengampun, dan Maha Penyayang?” Lalu niat orang tersebut untuk bertobat dan rajin beribadah menjadi lemah. Ini termasuk tipu daya setan. Seharusnya ia menggunakan ketakutannya (khauf) pada murka Allah untuk menjawab tipu daya setan, “Meskipun Allah maha mengampuni dosa-dosa dan menerima tobat, Dia juga sangat keras azabnya. Walaupun Allah Maha Pemurah, Dia juga bisa menjebloskan orang-orang kafir ke neraka untuk selama-lamanya, walaupun kekafiran mereka sama sekali tidak membahayakan-Nya. Allah juga menimpakan ujian dan penyakit kepada sejumlah hamba-hamba-Nya di dunia, padahal Dia mampu untuk melenyapkan ujian dan penyakit itu. Terhadap Zat yang memiliki hukum seperti itu dan Dia telah membuatku takut akan siksa-Nya, bagaimana mungkin aku tidak takut kepada-Nya?
Dengan demikian, takut (khauf) dan harap (raja’) adalah motor penggerak amal saleh. Apa pun yang tidak menggerakkan seseorang untuk beramal saleh merupakan khayalan dan tipu daya. Harapan semua makhluk yang menyebabkan mereka malas beramal saleh, mencintai dunia, dan berpaling dari Allah juga merupakan tipu daya.
Umat Islam pada masa-masa awal senantiasa beribadah dan mengerjakan amal-amal saleh, tetapi hati mereka senantiasa takut. Padahal mereka sepanjang siang dan malam dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Pada masa sekarang, engkau bisa melihat orang-orang merasa aman dan tenang, tidak takut akan siksa Allah, padahal mereka berkubang di dalam kemaksiatan dan berpaling dari Allah. Mereka mengaku bersandar pada kemurahan Allah dan berharap pada ampunan-Nya. Seakan-akan mereka hendak mengatakan bahwa mereka mengerti kemurahan Allah, melebihi apa yang dimengertl oleh para nabi, sahabat, dan kaum salaf saleh.
Allah Swt. mengabarkan keadaan orang-orang Nasrani, seraya berfirman, Maka setelah mereka, datanglah generasi (yang jahat yang mewarisi Taurat (QS Al-A’raf |7]: 169). Maksudnya, orang-orang yang alim, Yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini (QS Al-A’raf [7]: 169). Maksudnya, mengikuti nafsu-nafsu duniawi mereka, baik yang halal maupun yang haram. Padahal Allah telah menyatakan. Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga (QS Al-Rahman [55]: 46). Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (menghadap) ke hadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku (QS Ibrahim [14]: 14). Tidak ada seorang pun yang benar-benar merenungkan isi Al-Quran. kecuali ia akan bertambah takutnya kepada Allah jika ia mempercayai isi nya. Tetapi lihatlah manusia sekarang. Mereka membaca Al-Quran dengan tergesa-gesa, mempertontonkan bacaannya laksana syair dan mereka tidak memperhatikan maknanya. Inilah contoh keteperdayaan dalam ketaatan kepada Allah, dan perbedaan antara harapan dan keteperdayaan.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz