Dengan demikian, tipu daya setan bahwa akhirat tidak pasti bisa ditolak dengan keyakinan yang bersumber dari taklid (bukan dari makrifat) maupun keyakinan yang bersumber dari musyahadah dengan mata batin. Jika seorang mukmin meninggalkan perintah-perintah Allah, mengabaikan amal-amal kebajikan, menuruti hawa nafsu, dan bergelimang dengan dosa, ia sama saja dengan orang kafir dalam keteperdayaannya. Akan tetapi, keteperdayaan orang mukmin pendosa lebih ringan karena keimanan akan menyelamatkannya dari siksa abadi, akan tetapi mereka mengakui bahwa akhirat lebih baik daripada dunia, tetapi lebih mencintai dunia dan mengutamakannya. Iman saja tidak cukup baginya, karena janji pengampunan di dalam kitab-Nya mensyaratkan adanya iman dan amal saleh secara bersamaan, bukan hanya iman. Sekarang kami akan memberikan dua contoh mengenai orang kafir dan pendosa yang teperdaya dalam ketaatan kepada Allah. Sebagian orang kafir mengatakan, “Seandainya ada tempat kembali di sisi Allah, tentu kami lebih berhak daripada kalangan lain” Ini sebagaimana firman Allah, Dan sekiranya aku (orang kafir) dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada ini (QS Al-Kahfi [18]: 36). Disebutkan dalam kitab tafsir bahwa ada seorang kafir membangun istana dengan seribu dinar, membeli kebun seharga seribu dinar, membeli budak seharga seribu dinar, dan menikahi perempuan dengan mahar seribu dinar. Lalu seorang mukmin mengatakan kepadanya, “Engkau membeli istana fana, mengapa tidak membeli istana di surga? Engkau juga membeli kebun yang bisa rusak, mengapa tidak membeli kebun di surga, pembantu yang abadi, dan istri bidadari yang tidak akan meninggal?” Orang kafir itu menjawab, “Di surga tidak ada apa-apa. Jika pun ada, tentu aku bisa mendapatkan yang lebih baik.”
Di dalam Al-Quran, Allah menceritakan ucapan Ash bin Wail, yang mengatakan, “Pasti aku akan diberi harta dan anak” (QS Maryam [19]: 77). Lalu Allah menjawab perkatan tersebut dengan pertanyaan, “Adakah dia melihat yang gaib atau dia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih? Sama sekali tidak” (QS Maryam (19]: 78-79). Khabbab bin Al-Arat menceritakan, “Aku mempunyai piutang pada Ash. Aku memintanya membayar, tetapi ia tidak bersedia. Lalu kukatakan kepadanya, ‘Aku akan mengambilnya di akhirat.’ Ash menjawab, ‘Jika aku di akhirat, aku akan mempunyai harta dan anak-anak. Aku akan membayar utangku padamu.’ Lalu turunlah ayat di atas.”
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz