Yang dimaksud dengan dunia adalah benda-benda yang berwujud, yang mana manusia mempunyai bagian darinya, dan sibuk untuk mendapatkannya. Benda-benda yang berwujud tersebut adalah bumi dan segala hal yang ada di atasnya.
Di antara dunia dan hamba terdapat dua hubungan. Pertama, hubungan dengan hati. Maksudnya, kecintaan hamba terhadap dunia dan bagiannya dari dunia. Yang termasuk dalam hubungan ini adalah sifat-sifat hati yang bergantung pada dunia, seperti sombong, khianat, iri, riya, sum’ah (ingin didengar kebaikannya), prasangka buruk, menjilat, suka dipuji, suka memperbanyak harta, dan membanggakan diri. Inilah dunia yang bersifat batin atau abstrak. Adapun dunia yang bersifat lahir atau konkret adalah benda-benda yang berwujud. Kedua, hubungan dengan badan, yaitu kesibukan hamba untuk memperoleh benda-benda yang berwujud tersebut. Karena dua hubungan ini, manusia melupakan diri mereka sendiri dan tempat kembali mereka di akhirat.
Perumpamaan seorang hamba di dunia seperti calon jamaah haji yang berhenti di suatu tempat singgah di tengah jalan. Ia sibuk memberi makan untanya, merawatnya, membersihkannya, memakaikan pakaian yang bagus-bagus padanya, membawakan berbagai macam rerumputan, dan mendinginkan air minumnya dengan es, hingga ia tertinggal dari kafilahnya. Ia lalai dengan urusan ibadah haji dan perjalanan kafilah. Ia lupa bahwa kesendiriannya bersama unta di tengah gurun hanya akan membuatnya menjadi mangsa binatang buas. Adapun calon jamaah haji yang mempunyai mata hati tidak akan mementingkan urusan unta, kecuali sekadar yang bisa membuat unta kuat untuk berjalan. Maka ia tetap memelihara untanya, tetapi hatinya tertuju pada Ka’bah dan manasik haji. Begitulah perumpamaan seorang musafir yang berjalan menuju akhirat. Sebagian besar hal yang membuat orang melalaikan Allah adalah perut. Seandainya manusia tahu kadar perut yang harus dipenuhi dan hanya kadar itu yang mereka penuhi, tentu waktu mereka tidak akan disibukkan oleh kesibukan-kesibukan dunia.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz