Sekelompok yang lain berpandangan bahwa kematian tidak menyelesaikan persoalan. Yang pertama harus dilakukan adalah membunuh sifat-sifat manusia pada diri mereka secara keseluruhan. Mereka meyakini bahwa kebahagiaan terletak pada pemutusan diri dari segala nafsu dan amarah secara total. Kemudian mereka melakukan berbagai penempaan diri dan menyiksa diri mereka sendiri hingga ada sebagian di antara mereka mati karena beratnya penempaan yang mereka lakukan. Sebagian yang lain menjadi gila karenanya. Sebagian yang lain lagi menderita sakit dan tidak bisa lagi beribadah. Sebagian yang lain lagi tidak sanggup membunuh semua sifat kemanusiaannya secara total, lalu menganggap apa yang dibebankan oleh syariat mereka adalah perkara yang mustahil dan tidak berdasar. Maka, mereka pun memilih jalan kekufuran.
Bagi sebagian yang lain, keletihan dalam penempaan ini semuanya dilakukan karena Allah. Akan tetapi, Allah sebenarnya tidak membutuhkan ibadah dari hamba-hamba-Nya; kemaksiatan dan ibadah manusia sama sekali tidak mengurangi maupun menguatkan ketuhanan Allah sedikit pun. Mereka akhirnya kembali kepada hawa nafsu, menghalalkan segala hal, dan melanggar aturan-aturan syariat, seraya mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan bersumber dari kemurnian tauhid mereka, yaitu bahwa Allah tidak membutuhkan sama sekali ibadah hamba-hamba-Nya.
Sekelompok yang lain berpendapat bahwa tujuan dari ibadah adalah untuk sampai pada derajat makrifat kepada Allah. Jika derajat itu sudah dicapai, mereka merasa tidak membutuhkan lagi sarana untuk mencapai makrifat tersebut. Mereka pun meninggalkan ibadah dan mengklaim derajat mereka tinggi di sisi Allah karena derajat makrifat yang telah mereka capai sehingga tidak lagi dibebani dengan kewajiban-kewajiban. Ibadah, bagi mereka, hanya pantas dibebankan kepada orang-orang awam.
Selain mereka, masih banyak sekali golongan dan kelompok batil lainnya. Jumlahnya lebih dari 70 golongan. Yang selamat di antara mereka hanyalah satu kelompok, yaitu kelompok yang menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka tidak meninggalkan dunia secara keseluruhan dan tidak pula mengekang nafsu secara total. Dalam urusan dunia, Rasul dan para sahabatnya mengambil sekadar yang mereka butuhkan sebagai bekal (menuju akhirat). Terhadap nafsu, mereka hanya mengekang nafsu yang melenceng dari tuntunan syariat dan nalar. Jadi, mereka tidak mematuhi semua nafsu dan juga tidak meninggalkan semuanya, tetapi mengikutinya secara adil, proporsional. Mereka pun tidak mengabaikan dunia secara keseluruhan dan juga tidak mengambil semuanya, tetapi mengambilnya sesuai dengan batas dan tujuan yang dikehendaki syariat. Karena itu, mereka hanya mengambil sekadar makanan pokok yang bisa menguatkan badan mereka untuk beribadah; sekadar tempat tinggal yang bisa melindungi mereka dari pencuri, panas, dan dingin; dan sekadar pakaian untuk melindungi dari panas dan dingin. Dengan demikian, bilamana mereka telah lepas dari urusan badan (yang sedikit itu), mereka bisa segera menghadap Allah dengan segenap hati dan pikiran. Mereka lalu berzikir dan merenung sepanjang usia mereka, seraya tetap mengendalikan dan mengawasi nafsu mereka agar tidak melampaui batas kewarakan dan ketakwaan.
Perincian mengenai jalan Rasulullah tidak bisa diketahui, kecuali dengan meneladani kelompok yang selamat, yaitu para sahabatnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam telah bersabda, “Yang selamat di antara mereka hanya satu” Para sahabat bertanya, “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ahlus sunnah wal jamaah.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Siapakah ahlus sunnah wal jamaah itu?” Beliau menjawab, “Apa yang dicontohkan olehku dan para sahabatku.” Sungguh, mereka telah menempuh jalan tengah yang jelas. Mereka tidak mengambil dunia dengan tujuan dunia itu sendiri, tetapi demi urusan agama. Mereka pun tidak meninggalkan dunia secara keseluruhan. Mereka tidak berlebihan dan juga tidak mengabaikan, tetapi mereka berada di tengah di antara keduanya. Itulah yang dinamakan keadilan dan jalan tengah di antara dua sisi. Itulah perkara yang paling disukai Allah Swt.
Segala puji bagi Allah, di awal maupun di akhir. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada pemimpin kita, Muhammad, beserta segenap keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz