Apabila seseorang terbiasa menahan kemarahan karena ia tidak bisa melampiaskannya. kemarahan itu akan kembali dan mengendap di dalam batinnya, lalu berubah menjadi kedengkian. Kedengkian sendiri adalah membiasakan hati merasakan sesak, kebencian, dan tidak rela terhadap orang lain.
Kedengkian bisa berbuah delapan hal, yaitu:
[1] iri hati (menginginkan hilangnya kesenangan dari orang yang didengki),
[2] merasa senang atas musibah yang menimpanya (Syamatah),
[3] berpaling karena menghinakannya,
[4] menjauhi dan memutuskan silaturahmi darinya,
[5] berbicara buruk tentangnya seperti berbohong, menggunjing, membeberkan rahasia dan membungkar aib,
[6] menirukan gerak atau suaranya dengan maksud merendahkan,
[7] menyakitinya dengan pemukulan atau upaya lain yang menyakitkan, dan
[8] menghalanginya dari mendapatkan haknya seperti pembayaran hutang, pembelaan dan kezaliman dan silaturahmi. Semua perkara itu adalah haram.
Kedengkian yang paling ringan adalah jika engkau terhindar dari delapan penyakit tersebut di atas dan tidak sampai melakukan kemaksiatan kepada Allah. Namun karena masih ada kedengkian di hatimu, engkau merasa sesak dan benci terhadap orang yang engkau dengki sehingga engkau tidak mau berlaku lembut dan ramah terhadapnya, memenuhi kebutuhannya, membantunya, mendoakannya, dan menemuinya. Meskipun kedengkian semacam ini tidak membawamu pada azab Allah, tetapi bisa mengurangi derajatmu disisi-Nya dan menghalangimu dari keutamaan yang besar.
Ketika Abu Bakar r.a. bersumpah tidak akan lagi memberikan nafkah kepada Misthah karena terlibat dalam fitnah terhadap Aisyah, turunlah wahyu Allah yang berbunyi, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kalian bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah; dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak mau bahwa Allah mengampuni kalian? [QS. An-Nur [24]: 22).
Abu Bakar lantas mengatakan, “Baiklah. kami menyukai pengampunan.” Kemudian ia kembali memberikan nafkah kepada Misthah.
Yang paling utama bagi orang yang mendengki adalah tetap berlaku seperti biasa sebagaimana saat ia belum mendengki. Apabila memungkinkan, hendaknya ia berlaku lebih baik lagi (terhadap orang yang didengki) dalam rangka menempa diri dan menghinakan setan. Itulah maqam orang-orang shiddiq dan muqarrab (yang mantap keimanannya dan dekat dengan Allah).
Bagi orang yang mendengki terdapat tiga keadaan. Pertama, ia tetap memenuhi hak orang yang didengkinya. tidak menambah dan tidak mengurangi. Inilah yang dinamakan adil. Kedua, ia mengurangi hak-hak orang yang didengkinya inilah yang di namakan kezaliman. Ketiga, ia berbuat baik kepadanya, memaafkannya, dan tetap menyambung silaturahmi dengannya. Inilah pilihan yang utama, yang dipilih oleh orang-orang shiddiq.
Sumber: Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Mukhlikat Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Habib Umar bin Hafidz