Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menekankan kepada setiap orang yang ingin menikah agar melakukan seleksi berdasarkan asal keturunan yang baik. Dalam sebuah hadits beliau menyatakan :
إِيَّاكُمْ وَخَضْرَاءَ الدِّمَنِ. فَقِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا خَضْرَاءُ الدِّمَنِ، قَالَ : الْمَرْأَةُ الْحَسْنَاءُ فِي الْمَنْبَتِ الْسُّوْءِ
Artinya : “Jauhilah tumbuh-tumbuhan hijau di tempat yang kotor. Para sahabat bertanya: Apakah itu Ya Rasulallah. Beliau menjawab: Wanita cantik yang berasal dari keturunan yang buruk.” (HR. Daraquthni)
Secara keseluruhan hadits-hadits di atas membimbing orang yang ingin kawin agar memilih wanita yang dibesarkan dari keluarga yang berasal dari keturunan yang baik dan mulia. Memang kebahagiaan perkawinan yang diidam-idamkan tergantung dalam pemilihan teman hidup. Jika seseorang mampu mendapatkan teman hidupnya secara tepat tentu kebahagiaan ini akan terwujud.
Di dalam pelaksanaan pendidikan pada anak, Islam telah memberikan tuntunan yang berwawasan jauh. Dapat diperhatikan dari hadits di bawah ini :
تَخَيَّرُوْا لِنُطَفِكُمْ وَانْكِحُوْا الْأَكْفَاءَ وَأَنْكِحُوْا إِلَيْهِمْ
Artinya : “Pilihlah (wanita) untuk air mani kamu dan nikahilah orang-orang yang sepadan / sederajat (kufu’). Dan nikahkanlah anak-anakmu dengan mereka.” (HR. Ibnu Majah, Addaruqudni, dan Hakim)
Hadits ini memberikan pentunjuk, agar seorang lakilaki muslim sebelum menanamkan benihnya kepada seorang istri, jauh sebelumnya dianjurkan untuk memikirkan tentang kemampuan calon istrinya dalam mendidik anak-anaknya. Karena anak yang lahir dari seorang ibu yang akhlaknya tidak baik, akan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan akhlak anak yang ada di bawah asuhannya.
Diriwayatkan, bahwa pada suatu saat Umar Ibnu Khottob didatangi seorang ayah yang mengadukan anaknya. Anak itu dipanggil oleh Umar Ibnu Khottob dan ditanya, si anak berbalik bertanya kepada Umar lbnu Khottob : “Apakah seorang anak tidak mempunyai hak terhadap ayahnya?”. Umar menjawab : “Punya, yaitu ia harus memilihkan tempat yang baik untuk menanam benihnya dan memilih perempuan yang sepadan dengan dirinya.” Jadi setiap anak mempunyai hak terhadap ayah dan ibunya, jauh sebelum ia lahir, yaitu hak untuk memperoleh pembinaan dan pendidikan yang baik.
Kalau diibaratkan anak itu sebagai buah-buahan atau biji padi-padian, maka agar kelak dapat diperoleh padi yang baik, tentu si petani harus memilih tanah yang subur dan daerah yang tidak rawan terhadap penyakit tanaman. Begitulah tindakan yang seharusnya dilakukan. Begitu pula dengan seorang ayah, ketika dia masih perjaka, masih sendirian, harus berfikir jauh tentang calon ibu anak-anaknya. Usaha ini merupakan mata rantai dalam mendidik. Jadi mendidik anak bukan hanya sesudah mereka itu lahir ke dunia, baru kita pikirkan bagaimana mendidikanya, tetapi jauh sebelum kita memperoleh anak, seyogyanya kita mempunyai rencana, atau program bahwa kalau saya punya anak, maka si ibu yang akan mendidik, mengasuh anak saya harus ibu yang baik. Begitulah Islam mengharuskan kita berbuat, kalau sebelum kita punya anak, Islam menyuruh atau memberi petunjuk cara memilih calon ibu yang akan menjadi pendidik anak-anak kita. Begitu juga si perempuan dalam menerima lamaran si laki-laki harus berfikir jauh, apakah kelak ayah anak saya itu orang yang baik, dapat menjadi contoh tauladan bagi anakanaknya atau tidak?
Sumber : Pendididkan Anak dalam Islam – Kasyful Anwar Syarwani