Adapun kehakiman atau pengadilan adalah kekuasaan yang pada dasarnya disukai fitrah manusia. Memimpin urusan kehakiman sesuai dengan prinsip kebenaran pahalanya besar. Sebaliknya, dosanya juga besar bila dilakukan tidak sesuai dengan kebenaran. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Hakim ada tiga. Dua hakim di neraka, hanya satu yang di surga.” Karena itu, orang-orang yang lemah dan orang-orang yang masih memandang dunia dan kenikmatan di dalamnya sebagai hal yang bernilai, hendaknya meninggalkan amal ibadah ini.
Mengenai amal ibadah ceramah dan pemberian fatwa, pengajaran, periwayatan hadits, dan pengumpulan isnad-isnad hadits yang tinggi kualitasnya, risikonya juga sangat besar, sebagaimana risiko dalam kepemimpinan. Para ulama salaf yang “penakut” saling mendorong di antara sesama mereka dalam mengeluarkan fatwa, selama itu masih memungkinkan. Mereka mengatakan, “Ucapan ‘haddatsana’ adalah salah satu pintu masuk dunia. Maka, barang siapa mengatakan ‘haddatsana’, sama saja dengan ia mengatakan, ‘Muliakan aku.’ Bisyr Al-Hafi mengatakan, “Aku melarang diriku menyampaikan hadits kala aku ingin menyampaikan hadits.”
Seorang penceramah mendapatkan kenikmatan dari tindakannya menyampaikan nasihat, ceramahnya yang menyentuh hati manusia, tangisan mereka, histeria mereka, dan penghormatan mereka kepadanya. Apabila semua kenikmatan itu lebih dominan baginya, berarti ia telah condong pada kemilau dunia yang bersinar terang di mata orang awam, meskipun itu batil, dan ia akan lari dari segala yang memberatkan dirinya meskipun itu kebenaran. Bila sudah begitu, ia akan mencurahkan segenap perhatiannya pada apa yang bisa menggerakkan hati mereka dan ia akan bergembira bila mendengar hadits atau kisah hikmah yang menurutnya pantas untuk disampaikan di atas mimbar dakwah. Padahal, seharusnya, seorang penceramah bergembira karena ia mengetahui jalan kebahagiaan untuk diamalkannya sendiri, kemudian untuk diceritakan kepada saudara-saudara seiman agar sama-sama menapaki jalan kebahagiaan.
Mungkin engkau mengatakan, apabila para penceramah diberi ketentuan seperti itu, niscaya ilmu pengetahuan mengalami kemandegan dan kebodohan merajalela. Menurutku, Rasulullah telah melarang umatnya mencari kepemimpinan dan mengancam mereka dengan hukuman. Beliau Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya kalian menginginkan kepemimpinan, padahal itu adalah kesedihan dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali bagi yang mengambilnya sesuai haknya. Seandainya kepemimpinan berhenti, musnahlah agama dan dunia.
Umar r.a. pernah memukul Ubay bin Ka’ab karena melihat banyak orang mengikuti Ubay. Ketika itu ia berkata, “Ubay adalah panutan umat Islam. Al-Quran dibacakan di hadapannya. Tapi, orang-orang dilarang untuk mengikutinya.” Umar pun berkata, “Itu adalah ujian bagi yang diikuti, kehinaan bagi yang mengikuti.” Suatu ketika Umar menyampaikan khutbah dan memberikan nasihat. Lalu ada seorang lelaki meminta izin agar diperbolehkan menyampaikan ceramah sehabis shalat subuh. Umar tidak mengizinkan. Lelaki itu bertanya. “Apakah engkau melarangku menyampaikan nasihat?” Umar menjawab, “Aku khawatir engkau menjadi sombong setinggi bintang kartika.” Sebab, Umar melihat pada diri orang itu indikasi ia menginginkan kedudukan sebagai penceramah.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz