Satu-satunya jalan keselamatan adalah engkau jadikan hatimu senantiasa sadar akan dampak buruk riya dan bahayanya di akhirat dan bahwa riya tidak ada manfaatnya di dunia, engkau langgengkan perasaan benci dan penolakan terhadap riya di hatimu, dan engkau tetap mengerjakan amal ibadahmu selama itu didorong oleh niat yang ikhlas, tanpa peduli pada ucapan orang.
Lawanlah dorongan-dorongan riya dan jadikan hatimu senantiasa malu kepada Allah. Bahkan jika engkau sanggup memperbanyak amalmu karena malu kepada Allah dan sebagai hukuman terhadap jiwamu, lakukanlah. Jika setan berbisik kepadamu, “Engkau berbuat riya,” ketahuilah kebohongan dan tipu dayanya dengan menghadapkannya dengan hatimu yang berisi kebencian dan penolakan terhadap riya, rasa takutmu pada riya, serta perasaan malumu kepada Allah. Apabila perasaan benci dan takut kepada riya tidak ada di hati dan tidak ada pula motif agama dalam amalmu, tinggalkan. Itu adalah amal yang jauh dari kebaikan.
Diriwayatkan bahwa beberapa kaum meninggalkan amal karena menghindari ketenaran. Maka, ketahuilah bahwa meninggalkan perkara sunnah dibolehkan dan apa yang mereka lakukan terkait dengan masalah keutamaan. Mereka kadang memberikan terapi pada jiwa mereka dengan melakukan hal yang berlawanan dengan keutamaan karena begitu besarnya rasa takut mereka. Ada banyak riwayat dari banyak orang yang tak terhitung banyaknya bahwa mereka pun menampakkan amal-amal ibadah mereka. Adapun ucapan At-Taimi, “Apabila ucapanmu membuatmu kagum, diamlah,” bisa ditafsirkan bahwa maksudnya adalah ucapan-ucapan yang bersifat mubah, seperti kefasihan dalam bercerita. Dan perasaan kagum (ujub) terhadap diam yang dilakukannya untuk hal yang bersifat mubah pun hukumnya terlarang. Adapun mengenai ucapan yang benar lagi utama, At-Taimi tidak menyebutnya.
Kategori kedua, amal ibadah yang berkaitan dengan manusia. Risiko yang terdapat pada amal ibadah dengan kategori ini sangat besar. Yang terbesar risikonya adalah soal khilafah (kepemimpinan), kehakiman, ceramah, Pendidikan, pemberian fatwa, dan sedekah.
Menjadi pemimpin adalah ibadah yang paling utama apabila disertai dengan keadilan dan keikhlasan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Satu hari bagi pemimpin yang adil lebih baik daripada ibadah seseorang sendirian selama 60 tahun.”2 Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam juga pernah bersabda, “Penghuni surga ada tiga, yaitu penguasayang adil, Sabdanya juga menyatakan, “Ada tiga orang yang tidak ditolak doanya,yaitu imam yang adil, ….”
Jadi, menjadi pemimpin adalah ibadah yang paling agung. Namun, orang-orang yang bertakwa banyak yang meninggalkannya, menjauhinya, dan tidak mau memegangnya. Sebab, pada umumnya jiwa pemimpin digerakkan oleh kepentingan pribadi dan dikalahkan oleh kecintaan pada kedudukan, nikmatnya kekuasaan, dan besarnya wewenang. Apabila pemimpin sudah cinta pada kekuasaan, ia akan memimpin demi keuntungan pribadinya, dan dikhawatirkan ia akan mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, Umar r.a. pernah mengatakan, “Orang yang mengambil kepemimpinan, mengambil pula (risiko besar) di dalamnya.”
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz