Ada orang yang meninggalkan amal ibadah karena takut berbuat riya. Itu salah. Amal ibadah ada dua macam. Ada amal ibadah yang bagi jiwa tidak mengandung kenikmatan pada amal itu sendiri, seperti shalat, puasa, haji, dan perang. Ibadah-ibadah seperti itu membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Ada pula amal ibadah yang mengandung kenikmatan, yaitu ibadah yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak, seperti menjadi pemimpin, hakim, gubernur, polisi syariah, dan imam shalat, memberikan nasihat, mendidik, dan bersedekah.
Pada amal ibadah kategori yang pertama, terdapat tiga bahaya riya:
Pertama, riya yang masuk sebelum ibadah dikerjakan sehingga ibadah itu bertujuan riya. Ibadah seperti ini hendaknya ditinggalkan. Jika sanggup, seseorang hendaknya membuang dorongan riya tersebut dari jiwanya dan mengatakan kepada jiwa, “Tidakkah kau malu kepada Tuhanmu? Jangan kau beribadah karena riya dan jangan pula untuk hamba-hamba-Nya,” hingga dorongan riya itu hilang dan jiwanya mau beribadah untuk Allah. Setelah itu, barulah ia melaksanakan ibadahnya.
Kedua, suatu amal ibadah didorong oleh niat tulus karena Allah, lalu muncul perasaan riya saat ibadah itu mulai dikerjakan. Maka, ibadah tersebut tidak seharusnya ditinggalkan. Seseorang hendaknya tetap meneruskan ibadahnya dan berjuang untuk menghilangkan perasaan riya.
Ketiga, seseorang memulai ibadahnya dengan niat ikhlas, kemudian muncul dorongan-dorongan riya. Maka, ia hendaknya berupaya keras untuk menolak dorongan-dorongan itu, terus melanjutkan amal ibadahnya agar kembali pada posisi ikhlas, dan memaksa jiwanya untuk kembali pada keikhlasan. Sebab, setan bermaksud mengajakmu meninggalkan amal ibadah tersebut. jika engkau mengabaikan ajakannya, ia menyerumu untuk berbuat riya. Jika engkau tidak menjawab seruannya, ia berkata kepadamu, “Amal ibadahmu ini tidak ikhlas. Sia-sialah jerih payahmu.” Setan mengatakan itu hingga engkau meninggalkan amal ibadahmu dan dengan demikian tercapailah tujuannya. Perumpamaan orang yang meninggalkan amalnya karena takut berbuat riya adalah seperti seseorang yang diserahi biji gandum oleh majikannya seraya berkata, “Bersihkan biji gandum ini sebersih-bersihnya.” Orang itu lalu mengatakan, “Aku khawatir jika aku yang mengerjakan, biji gandum itu tidak bisa sangat bersih.”
Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang meninggalkan amal karena takut orang-orang menganggapnya berbuat riya. Ini merupakan tipu daya setan karena dengan pemikiran itu sama saja ia berburuk sangka terhadap orang-orang Islam. Seandainya prasangkanya memang benar, ucapan mereka tidaklah membahayakan dirinya dan tidak pula menghilangkan pahala amal ibadahnya.
Mengurungkan suatu amal ibadah karena takut ada orang yang mengatakan, “Sesungguhnya ia berbuat riya,” adalah perbuatan riya itu sendiri. Sebab, kalau bukan karena menyukai pujian dan takut pada celaan, niscaya ia takkan peduli apakah mereka mengatakan dirinya berbuat riya maupun berlaku ikhlas. Apa bedanya antara orang yang meninggalkan amal ibadah karena takut dianggap orang berbuat riya dan orang yang mempercantik amal ibadahnya karena takut dianggap orang beribadah seenaknya? Bagaimana ia bisa melepaskan diri dari setan, sedangkan setan tidak melepaskannya? Bahkan setah membisikkan kepadanya. “Sekarang orang-orang mengatakan bahwa engkau membatalkan amal ibadahmu agar dikatakan bahwa engkau orang yang ikhlas dan tidak menginginkan ketenaran.” Kalau kemudian engkau pergi mengasingkan diri, setan akan bisikkan, betapa manis bila kezuhudan dan pengasingan dirimu diketahui mereka.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz