Sekelompok orang dari ahli ilmu berpandangan bahwa kewaspadaan itu perlu. Apa yang dinamakan dengan “ketidakperluan untuk waspada” hampir pasti merupakan suatu tipu daya setan. Allah berfirman kepada Adam dan Hawa, “Wahai Adam! Sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Maka, sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka” (QS Thâhâ [20]: 117). Bilamana seorang Nabi yang berada di surga saja tidak aman dari bisikan setan, bagaimana bisa orang yang bukan Nabi dan berada di dunia merasa aman darinya? Bersikap waspada sebagaimana diperintahkan Allah tidaklah menghalangi seseorang untuk menyibukkan diri dalam cinta kepada Allah. Hal ini sebagaimana perintah Allah agar kita mewaspadai orang-orang kafir. Dia Swt. berfirman, Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka (QS Al-Nisa’ [4]: 102). Jadi, seorang hamba hendaknya mewaspadai bisikan riya dari setan serta meyakini bahwa pemberi jalan petunjuk dan kesesatan hanyalah Allah dan bahwa sebab-sebab hanyalah perantara yang diatur oleh-Nya. Inilah jawaban yang dipilih Al-Muhasibi, seseorang yang telah menyaksikan cahaya ilmu.
Kemudian mereka berbeda pendapat soal tata cara bersikap waspada. Sekelompok orang menyatakan, “Tidak seharusnya ada hal yang lebih mendominasi hati kita melebihi kewaspadaan terhadap setan.” Sekelompok yang lain berpandangan, “Kita hendaknya menyibukkan diri dengan ibadah dan zikir kepada Allah, tanpa melupakan setan dan permusuhannya kepada kita. Dengan demikian, kita melakukan dua upaya sekaligus.” Adapun para ulama ahli hakikat menyatakan bahwa kedua kelompok itu salah. Kelompok pertama hanya mengingat setan dan melupakan Allah. Adapun kelompok kedua mengingat setan sekaligus berzikir kepada Allah. Maka dengan mengingat setan, berarti seseorang mengurangi jatah untuk mengingat Allah. Yang benar adalah seorang hamba harus mewajibkan diri senantiasa waspada terhadap sikap permusuhan setan, kemudian ia menyibukkan diri dengan zikir kepada Allah dengan sepenuh hati. Di hatinya tidak perlu tebersit mengenai setan. Namun, apabila setan datang berbisik kepadanya, ia harus sadar dan menolaknya.
Menyibukkan diri dengan zikir tidaklah menghalangi seseorang untuk waspada. Seseorang yang tidur sembari mengkhawatirkan hal penting pada waktu subuh niscaya akan terbangun beberapa kali di malam hari karena di hatinya ada kewaspadaan meskipun tidak sadar lantaran sedang tidur. Demikian pula hati sanggup melawan setan dengan hanya menyibukkan diri berzikir kepada Allah. Sebab, zikir membunuh hawa nafsu dan menghidupkan cahaya akal dan ilmu. Hati laksana sumur yang hendak dibersihkan dari air yang kotor agar bisa memancarkan air yang jernih. Maka, menyibukkan diri mengingat setan sama dengan mengabaikan air yang kotor. Adapun menyibukkan diri mengingat setan dan berzikir kepada Allah sama saja dengan membuang air yang kotor dari satu sisi dan membiarkannya mengalir ke sumur dari sisi yang lain. Bagi orang yang jernih mata hatinya, ia akan menutup aliran air yang kotor, lalu mengalirinya dengan air yang jernih; jika air yang kotor datang, segera ia menyumbatnya tanpa kesulitan.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz