Saat yang paling kuat untuk menolak bisikan yang pertama ialah saat sebelum datangnya bisikan yang kedua. Apabila bisikan pertama datang, hendaknya seseorang berkata kepada dirinya sendiri, “Engkau dan juga semua manusia bukanlah siapa-siapa. Mereka tahu maupun tidak (terhadap amal ibadahmu), sesungguhnya Allah Mahatahu. Lalu apa manfaatnya mereka tahu?” Kemudian apabila muncul dorongan untuk mendapat nikmatnya pujian, maka ingatlah akan berbagai dampak buruk riya dan murka Allah bagi pelakunya. Jadi, adanya orang yang mengetahui amal ibadah seseorang menimbulkan suatu keinginan untuk berbuat riya, sedangkan pengetahuan akan dampak buruk riya menimbulkan kebencian terhadap riya. Maka, jiwa akan mematuhi mana yang paling kuat di antara keduanya.
Dengan demikian, diperlukan tiga hal untuk mengalahkan riya, yaitu pengetahuan, kebencian, dan penolakan. Suatu amal ibadah kadangkala dimulai dengan niat yang ikhlas, kemudian bisikan riya muncul, lalu pelaku ibadah menerima bisikan itu seraya melupakan pengetahuan dan kebenciannya kepada riya, la lupa karena hatinya dipenuhi ketakutan pada celaan dan kecintaan pada pujian sehingga pengetahuannya tentang dampak buruk riya terlepas dari hatinya. Orang ini seperti orang yang berbicara kepada dirinya sendiri untuk berlaku sabar dan ia sudah bertekad untuk melakukannya; namun, ketika terjadi sesuatu yang membuatnya marah, ia lupa pada tekadnya. Jabir r.a. menceritakan, “Kami telah bersumpah kepada Rasulullah di bawah pohon bahwa kami tidak akan lari (dari medan perang). Namun kemudian kami melupakan sumpah kami saat terjadi Perang Hunain.” Muslim pun meriwayatkan kisah ini dari Abbas, “Hingga kami diseru, ‘Wahai orang-orang yang bersumpah di bawah pohon!’ Mereka pun kembali (ke medan pertempuran). Mereka diingatkan, lalu mereka pun ingat.”
Jadi, manfaat hanya bisa diperoleh dari berkumpulnya pengetahuan, kebencian, dan penolakan terhadap riya. Penolakan merupakan buah dari kebencian. Kebencian merupakan buah dari pengetahuan. Dan, kekuatan pengetahuan selaras dengan kuatnya iman dan ilmu.
Apabila seseorang mendapati dirinya membenci riya dan kebencian itu membawanya untuk menolak riya, tetapi tabiatnya masih cenderung untuk menyukai riya, padahal dia pun membenci kecenderungannya itu, apakah ia bisa dimasukkan dalam golongan para pelaku riya?
Ketahuilah. Allah hanya membebani hamba sebatas kemampuannya. Mencegah bisikan setan dan membuang tabiat bukanlah termasuk dalam jangkauan kemampuannya. Karena itu, seorang hamba hanya berkewajiban melawan keinginan riya dengan kebencian yang bisa ia gelorakan dari pengetahuannya mengenai dampak buruk riya, ilmu agama, dan keimanan kepada Allah. Rasulullah Saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah, yang telah mengubah tipu daya setan ke dalam bentuk bisikan.” Dengan demikian, bisikan setan dan bersit hati tidak membahayakan dirimu apabila engkau bisa menolak keinginan keduanya dengan kebencian dan penolakan. Namun dalam kondisi seperti ini, setan masih mempunyai satu tipu daya: apabila setan tidak berhasil membawa seseorang untuk berbuat riya, ia mengelabuinya seolah-olah kebaikan hatinya terletak pada tindakan menyibukkan diri untuk berdebat dengan setan. Apabila sudah sibuk berdebat, berarti setan telah berhasil mencuri kekhusyuan dan pahala keikhlasannya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz