Apabila manusia telah paham benar dampak buruk dari berbagai penyebab riya tersebut, maka pudarlah keinginannya untuk berbuat riya dan ia pun segera berpaling kepada Allah. Seandainya orang-orang tahu bahwa di dalam dirinya terdapat niat riya, niscaya mereka akan membencinya dan Allah akan membuka kedoknya. Dan seandainya seseorang beramal ikhlas karena Allah, pasti Allah akan tunjukkan keikhlasannya itu kepada mereka dan menjadikan mereka tunduk kepadanya, meskipun pujian mereka tidak berarti kesempurnaan bagi yang dipuji dan celaan mereka tidak berarti kekurangan bagi yang dicela. Sebuah hadis menyebutkan bahwa seorang penyair dari bani Tamim mengatakan, “Sungguh, pujianku adalah kebaikan dan hinaanku adalah aib keburukan.” Lantas Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda, “Engkau bohong. Yang seperti itu hanya Allah, yang tiada tuhan selain Dia.”
Apa yang telah saya paparkan di atas merupakan obat secara teori yang telah diringkas sedemikian rupa untuk mencabut akar-akar dari penyakit riya.
Adapun obat riya secara amaliah adalah sebagai berikut. Seseorang hendaknya membiasakan diri untuk menyembunyikan amal ibadahnya, sebagaimana pintu rumah ditutup dari segala keburukan. Juga membiasakan diri merasa puas amal ibadahnya hanya diketahu Allah. Diriwayatkan bahwa beberapa murid Abu Hafsh al-Haddad mencela dunia dan para ahli dunia. Abu Hafsh lantas mengatakan, “Engkau telah menampakkan apa yang seharusnya kau sembunyikan. Maka janganlah engkau berkumpul dengan kami.” Alasan Abu Hafsh mencela dunia sama dengan menampakkan diri berlaku zuhud.
Tidak ada obat bagi riya yang sepadan dengan menyembunyikan amal ibadah. Pada awalnya pengobatan dengan cara ini memang sulit, tetapi lama-kelamaan, berkat sentuhan kasih sayang Allah, ia menjadi mudah. Adalah tugas hamba untuk berupaya, dan Allah akan memberi hidayah. Hamba yang mengetuk pintu, sementara Allah yang membukanya. Allah berfirman, Sungguh, Allah tidak menyia nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (QS Al-Taubah [9]: 120). Dan jika ada kebajikan (sekecil dzarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya (QS Al-Nisa’ [4]: 40).
Cara kedua, menolak bisikan riya yang muncul di tengah-tengah pelaksanaan ibadah. Orang yang telah berupaya sungguh-sungguh dan berhasil mencabut akar-akar riya serta menganggap remeh pujian dan hinaan orang, tidak akan dibiarkan begitu saja oleh setan. Setan akan senantiasa menghadangnya dengan berbagai bisikan riya. Karena itu, ia harus bersiap diri untuk menolak apa yang ditawarkan setan tersebut.
Bisikan riya ada tiga. Bisikan-bisikan itu adakalanya datang seketika, seperti satu paket bisikan, dan adakalanya datang bertahap. Bisikan yang pertama berupa pengetahuan bahwa ada orang yang mengetahui amal ibadahnya dan harapan untuk diketahui. Bisikan kedua berupa dorongan keinginan untuk dipuji dan mendapat tempat di hati manusia. Bisikan ketiga berupa dorongan keinginan untuk menerima pujian itu dengan perasaan senang dan tenteram. Bisikan pertama bersifat pemberitahuan. Bisikan kedua merupakan kondisi yang dinamakan nafsu dan keinginan. Adapun yang ketiga merupakan upaya yang dinamakan azam (keinginan yang sudah bulat).
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz