Bukan rahasia lagi bahwa manusia menginginkan sesuatu karena menyangka sesuatu itu baik dan nikmat baginya, baik untuk masa sekarang maupun masa datang. Apabila ia tahu bahwa sesuatu itu baik untuk masa sekarang, tetapi buruk untuk masa datang, akan mudah baginya untuk menolak keinginannya. Contohnya, seseorang tahu bahwa madu itu lezat. Namun, apabila ia tahu bahwa di dalamnya terdapat racun, ia pasti meninggalkannya.
Demikian pula jika seorang hamba menyadari bahwa riya itu berbahaya, melenyapkan kebaikan hati, membuatnya terhalang dari taufik Allah di dunia dan kedudukan di sisi Allah di akhirat, dan menyebabkan dirinya memperoleh siksa dan murka Allah, seharusnya ia akan meninggalkannya. Sudah semestinya seseorang membandingkan apa yang ia dapatkan dari Allah dengan apa yang ia dapatkan dari manusia dengan berbuat riya dan menyadari bahwa satu amal kebajikan bisa jadi membuat timbangan kebaikannya lebih berat. Maka jika satu amalnya rusak karena riya, meskipun hanya satu amal, bisa jadi timbangan keburukannya menjadi lebih berat. Hal itu sudah cukup bagi seorang hamba untuk mengerti bahaya riya.
Selain itu, riya juga menyebabkan seseorang tidak fokus. Sebab, seseorang tidak mungkin bisa menyenangkan semua manusia. Maka siapa yang ingin membuat senang manusia dengan mendurhakai Allah, Allah akan murka kepadanya dan membuat manusia membencinya. Segala upaya untuk mendapatkan pujian manusia dan membiarkan diri dibenci Allah, demi mendapatkan pujian manusia, tidak akan menambah kekayaan dan usia seseorang. Pujian mereka pun tidak akan bermanfaat kala seseorang dalam kemiskinan. Adapun untuk menghilangkan ketamakan terhadap apa yang dipunyai orang lain, seorang hamba hendaknya menyadari bahwa Allah satu-satunya yang bisa menggerakkan hati manusia untuk menahan dan memberi. Semua makhluk bergantung kepada Allah, dan hanya Allah yang bisa memberikan rezeki. Bila sudah menyadari, bagaimana seseorang bisa meninggalkan apa yang ada di sisi Allah demi suatu harapan palsu dan khayalan semu? Jika pun khayalan semua itu akhirnya terwujud, kenikmatannya tidak sebanding dengan kehinaan untuk mendapatkannya.
Mengenai celaan orang mengapa seorang hamba harus mengkhawatirkannya, padahal celaan itu tidak bisa menambah sesuatu yang telah ditakdirkan Allah, tidak bisa mempercepat atau memperlambat datangnya rezekinya, dan tidak bisa membuatnya dibenci Allah jika ia memang berhak atas pujian Allah. Jadi, semua hamba Allah itu lemah, tidak bisa menentukan kerugian dan keuntungan bagi dirinya sendiri; dan tidak pula bisa menentukan kematian, kehidupan, dan kebangkitannya.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz