asy-Syeikh al-‘Allamah Ahmad bin Hajar al-Haitami rhm menyebutkan dalam kitabnya (az-Zawajir ‘an iqtiham al-Kabair), beliau berkata: al-Imam Ahmad bin Hambal rhm telah meriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah ra bahwa ada seorang laki-laki duduk di hadapan Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasalam lalu berkata: “Sesungguhnya aku memiliki beberapa budak yang membohongi, mengkhianati dan menentang perintahku, maka aku mencaci dan memukul mereka, lalu bagaimana kedudukanku di antara mereka?” Maka Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasalam menjawab:
اذا كان يوم القيامة يحسب ماخائوك و عصوك و كذبوك، فان كان عقابك إياهم بقدر ذنوبهم كان كفافا
، لا لك ولاعليك، و ان كان عقابك اياهم فوق ذنوبهم اقتص لهم منك الفضل
Artinya: “Kelak di hari kiamat akan diperhitungkan pengkhianatan, pembangkanan dan pendustaan mereka kepadamu. Jika hukumanmu pada mereka sesuai dengan dosa-dosa mereka niscaya hal itu sebanding dan engkau tidak dapat pahala atau pun dosa. Jika hukumanmu pada mereka melebihi dosa-dosa mereka, maka engkau akan dibalas sesuai dengan kelebihannya (hukuman).” Lelaki itu kemudian menjauh lalu menjerit dan menangis.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wasalam bersabda kepadanya: Apakah engkau tidak membaca firman Allah SWT:
ونضع الموازين القسط ليوم القيامة
Artinya: “Kami akan meletakkan timbangan yang tepat hari kiamat.”
Hingga sampai pada firman-Nya:
وكفى بنا حاسبين
Artinya: “Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS.Anbiya’ ayat: 47.)
Lelaki itu berkata: “Wahai Rasulullah aku tidak mendapati kebaikan bagi diriku dan bagi mereka melebihi berpisah dari mereka, engkau sebagai saksi, bahwa sekarang mereka adalah orang-orang yang merdeka.”
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang yang diikuti yang wajib bagi para pengikutnya untuk memenuhi hak-hak mereka dan berbuat santun terhadap mereka secara sempurna adalah orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an dan ilmu, para syaikh dan pendidik yang mendidik para salik dan memberi petunjuk bagi para penuntut ilmu.
Hal semacam ini merupakan kewajiban bagi orang-orang yang belajar, para salik untuk dididik agar benar-benar memperhatikan, mengagungkan, dan menghormati mereka, serta bertata krama yang baik kepada mereka dan benar-benar mentaati setiap isyarat dan petunjuk yang ditujukan kepadanya dari ilmu dan akhlak.
Mengenai hal ini sebagian ulama berkata: “Sesungguhnya para pengajar dan para mursyid mempunyai hak, ketaatan, dan bakti atas orang orang yang belajar dan mencari petunjuk darinya, seperti atau mendekati kewajiban seorang anak kepada kedua orang tuanya.”
Bahkan sebagian ulama yang lain berkata: “Hak seorang pengajar dan mursyid lebih penting dari pada hak seorang ayah.” Karena seorang ayah menjaga anaknya dari hal-hal yang dikhawatirkan dapat mencelakakan badan dan dunianya, dan menjadi sebab mendapatkan segala kenikmatan, untuk anak dan nafsu anak yang pasrah kepadanya, karena nafkahnya.
Sedangkan seorang pengajar dan mursyid menjaganya dengan pengajaran dan petunjuknya dari hal-hal yang berbahaya bagi kehidupan akhirat dan tempat kembalinya kelak, serta menjadi sebab dan jalan baginya dalam mencapai surga dan kenikmatannya yang kekal. Juga dalam meraih kemenangan dengan bertemu Allah SWT yang merupakan puncak kebahagiaan dan kenikmatan yang terbesar.
Orang-orang yang shaleh dari para pendahulu pada masa lampau dan masa yang belum lama berlalu, telah turun temurun mengagungkan para guru dan pendidik, serta mengetahui hak-hak mereka, dan bersopan santun secara sempurna. Hingga ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: “Aku tak memiliki keberanian minum air sedangkan Syafi’i memandangiku, disebabkan kewibawaan beliau.”
Sumber : Dakwah Cara Nabi Karya al Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad