Jika engkau termasuk orang yang hafal al-Qur’an dan bisa melantunkannya, tetapi tidak termasuk golongan ulama, maka pada hakikatnya engkau bukanlah orang yang menghafalnya dan melantunkannya, melainkan hanya sekedar sebagai ucapan saja, atau gambaran yang akan menjadi bukti jelek atas dirimu. Karena orang yang hafal dan pandai melantunkan al-Qur’an dengan sebenarnya adalah para ulama ketika mereka membaca sebagaimana yang diperintahkan. Melantunkan al-Qur’an sebagaimana yang disifatkan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Dan Allah swt adalah petunjuk kebenaran.
Telah panjang dan lebar pembicaraan mengenai kedudukan para pengemban al-Qur’an. Mereka adalah ulama pada generasi dan zaman yang lampau. Mereka mengemban aI-Quran disertai ilmu dan amal, hingga mereka menjadi ulama walaupun tidak dimasukkan sebagai golongan ulama dan tidak disifati dengan sitat mereka. Lalu lihatlah perbedaan tingkatan antara ulama waktu lampau dengan masa sekarang.
Ketahuilah, bahwa kadang-kadang orang yang berilmu dikuasai oleh tipu daya dan fitnah. Keberpalingan dan kelalaian memimpin mereka. Mereka tidak mengamalkan ilmunya. Dan ilmu tersebut menjadi sekedar di lisan bukan di hati dan pada ucapan bukan perbuatan. Maka pada saat itu ilmu menjadi bukti keburukan di hadapan Allah swt bagi mereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam:
العلم علمان، علم في القلب فذالك هو العلم النّافع، وعلم على اللّسان وذلك حجّة الله على ابن آدم
Artinya: “Ilmu terbagi menjadi dua. Ilmu yang berada di dalam hati, maka itulah ilmu yang bermanfaat Dan ilmu yang hanya sebatas lisan, maka itulah bukti keburukan di hadapan Allah bagi anak Adam”
Disebutkan dalam do’a Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam:
اللّهمّ إنّى أسألك علما نافعا
Artinya: “Yaa Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam berlindung kepada Allah swt dari ilmu yang tidak bermanfaat dan hati yang tidak tunduk.
Maka dengan semua itu jelaslah bahwa ilmu dibagi menjadi yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Dan orang-orang yang berilmu dibagi menjadi orang yang ilmunya bermanfaat dan orang yang ilmunya tidak bermanfaat. Terkadang ilmunya termasuk ilmu yang bermanfaat, namun pemiliknya tidak dapat mengambil manfaat karena perbuatannya bertentangan dengan ilmunya. Keadaannya seperti wadah yang kotor, jika dituangi makanan yang enak, niscaya akan mengotori makanan tersebut.
Sebagian ulama berkata: “Bertambahnya ilmu pada orang yang berhati buruk bagaikan pertumbuhan yang terjadi pada akar pohon handzal,19 semakin banyak air yang diserap semakin bertambah pahit rasanya.”
19 Handzal adalah sejenis labu yang pahit rasanya.
Maksud pohon handzal adalah pohon labu yang pahit rasanya. Pohon ini semakin kekurangan air semakin sedikit rasa pahitnya Demikianlah orang berilmu yang bersifat buruk, semakin sedikit ilmunya, semakin sedikit fitnah, kerusakan dan bahayanya. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil. Sesungguhnya tabiat dan perbedaan pada anak cucu Adam (manusia) bagaikan perbedan pada tabiat dan anasir pada pohon-pohon dan jenis tanah. Sebagian pohon dan tanah ada yang menjadi baik, tumbuh dan subur dengan diberi dan disirami banyak air. Sebagian yang lain justru berlawanan dengan itu. Seperti pohon yang pahit dan berduri dan tanah tandus dan lahan yang rusak, semakin bertambah air semakin bertambah rasa pahit dan durinya, masam dan kerusakannya.
Termasuk keajaiban yang pernah disebutkan, bahwa ketika musim kemarau hujan turun di tempat yang terdapat tiram di dalamnya, sehingga tiram-tiram membuka mulut dan menyimpannya, maka dengan izin Allah swt jadilah mutiara-mutiara. Sedangkan ular-ular membuka mulutnya hingga terjadilah racun yang mematikan. Padahal hujannya sama dan dalam waktu yang sama. Perbedaan yang sangat jauh ini disebabkan perbedaan tempat dan kekuatan yang menerimanya. Setelah semua permisalan ini, maka jaganlah merasa heran jika ilmu berada pada diri seseorang yang buruk akan mengakibatkan sesuatu yang membahayakan atau tidak bermanfaat. Ilmu sebenarnya adalah sesuatu yang berdiri dengan yang lain. Sebagai alat yang baik untuk memperbaiki dan sesuatu yang bermanfaat, jika ilmu tersebut terdapat pada orang yang baik dan bermanfaat. Dan akan menjadi sebaliknya jika terdapat pada orang-orang yang berbuat kerusakan dan berbahaya.
Sumber : Dakwah Cara Nabi Karya al Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad