Dulu majelis para ulama dari kalangan salafunasshalihin sangat makmur dengan semua itu. Mereka duduk dan orang-orang Islam dengan jumlah yang banyak berkumpul mengelilinginya. Di situ mereka memberikan nasehat, mengingatkan mereka tentang hari pembalasan Allah swt, mengajak mereka untuk mendirikan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang banyak mendapatkan manfaat dari semua itu. Karena itu nampak pada mereka dampak yang baik, seperti rasa takut, tangis, bersegera untuk bertaubat dan kembali kepada Allah swt. Semua ini dikenal dan masyhur dalam sejarah hidup mereka yang lampau dan telah lalu. Diantaranya adalah: Junaid bin Muhammad (297 H) pemimpin di zamannya, Abu Hamzah al-Baghdadi dan Yahya bin Mu’adz ar-Razi (258 H). Begitu juga seperti: al-Imam al-Ghazali, asy-Syeikh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani (561 H) dan asy-Syeikh as-Suhrawardi (632 H) penulis Kitab al-‘Awarif. Dan juga para panutan agama, pendakwah kepada kebaikan, dan penunjuk jalan yang seperti mereka semua.
Namun saat ini perbuatan yang seperti ini melemah, ajakan kepada Allah swt menjadi sedikit, kelalaian menguasai manusia secara umum, keberpalingan dari akhirat dan penghadapan kepada dunia menguasai mereka. Semua ini terjadi karena sedikitnya orang-orang yang mau mengingatkan, pendakwah kepada Allah swt dengan pengetahuan dan keyakinan. Sampai-sampai majelis untuk ilmu dan agama sama dengan majelis orang-orang yang lalai, yang berpaling, sibuk dengan pembicaraan dunia, keadaan dan pecintanya. Karena semua itu, musibah meliputi semuanya. Penyakit menyebar, lisan-lisan pengingat kepada Allah swt terbungkam, kebodohan dan kelalaian menguasai umat manusia, hingga orang-orang yang tidak memiliki ilmu berkhayal bahwa ia memiliki kedudukan yang dimiliki oleh orang-orang yang mencapai kebenaran dan petunjuk di masa yang lalu, dan berkata; sesungguhnya kedudukan ini seperti kedudukan mereka pada masa yang lalu. Jauh sekali dan jauh sekali. Tak ada jalan kembali bagi yang telah hilang dan terlewatkan. Hilanglah ilmu bersamaan dengan hilangnya mereka (para ulama salafunasshalihin) dan para pencarinya serta orang-orang yang menginginkannya. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
إِنَّ اللّٰهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَآءِ حَتَّى إذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوْسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya langsung dan manusia, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama hingga jika tidak tersisa seorang yang ‘alim, manusia lalu menjadikan orang bodoh sebagai pemimpin. Jika mereka ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu, maka mereka tersesat dan menyesatkan,” 11 (HR. Bukhari dan Muslim.)
Perhatikan, bagaimana ucapan orang-orang bodoh yang berpenampilan ulama menjadi lebih merugikan bagi manusia daripada diam mereka! Terlihat bagaimana perbedaan antara para ulama agama yang merupakan pewaris nabi dan pemimpin yang berpetunjuk dibanding dengan orang-orang bodoh yang menyerupai mereka dan berpenampilan dengan penampilan mereka dalam pandangan mata. Keadaan yang terlihat, mereka memberikan manfaat bagi umat manusia dengan ilmu mereka, memberikan petunjuk dengan petunjuk mereka, membangunkan bagi manusia jalan menuju Tuhan mereka dan segala sesuatu yang menjadi keberhasilan dan keselamatan mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka. Sedangkan kelompok yang lain menyesatkan umat manusia dengan fatwa-fatwa mereka dan mengaburkan masalah mereka.
Nanti akan ada tambahan penjelasan tentang keadaan orang-orang bodoh yang berpenampilan dan meyerupai ulama pada lahiriah mereka dengan kebangkrutan mereka dari hakikat ilmu dan takwa, dan kekosongan mereka dari penjelasan-penjelasan agama dan petunjuk. Mereka adalah golongan yang tertipu dengan kehidupan dunia dan dikusai oleh hawa nafsu, seperti yang dijelaskan dalam wahyu Allah Yang Maha Mulia:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخسَرِيْنَ أَعْمَالًا، الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
Artinya: “Katakanlah; Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi ayat: 103 dan 104.)
Bid’ah dan hal-hal yang baru telah muncul, kemungkaran telah menyebar, kelalaian dan keberpalingan dari Allah swt dan akhirat telah menguasai golongan khusus dan semuanya secara umum, maka tidak ada alasan lagi bagi orang-orang yang berada dalam kebenaran dan agama yang merupakan orang-orang yang memiliki keyakinan dalam ilmu untuk berdiam diri dari penjelasan akan kebenaran dan petunjuk serta mengajak kepada Allah swt dan jalan-Nya dengan ucapan dan perbuatan dan berusaha dengan segala kemampuan yang mereka miliki dan segala kemungkinan untuk mematikan bid’ah dan hal-hal yang baru serta menghapus segala kemungkaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam( );/1bersabda:
إِذَا ظَهَرَتِ الْفِتَنُ اَوْ قَالَ الْبِدَعُ وَسُبَّ أَصْحَابِيْ فَلْيُظْهِرِ الْعَالِمُ عِلْمَهٗ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَآئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، لَا يَقْبَلُ اللّٰهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلً
Artinya: “Jika fitnah telah muncul dan sahabat-sahabatku telah dicela, hendaknya orang-orang yang memiliki pengetahuan menunjukkan ilmunya, barang siapa tidak melakukannya maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh umat manusia, dan Allah tidak akan mengabulkan darinya kemurnian atau ketulusan hati.” 12
“Kadang-kadang muncul kebimbangan dari sebagian orang yang memiliki ilmu dan mencegahnya dari mengajak kepada kebenaran dan menyebarkan ilmu. Di antara kebimbangan itu akan menjadikannya berkata: “Aku tidak mengamalkan ilmuku, bagaimana mungkin aku mengajarkan dan mengajak orang dengannya?”
Memang telah diriwayatkan ancaman bagi perbuatan seperti itu, maka hendaknya perkataan itu dijawab: “Mengajarkan ilmu termasuk bagian dari mengamalkan ilmu, dan orang-orang yang mengajarkannya tetapi tidak mengamalkan masih sangat lebih baik daripada orang-orang yang tidak mengamalkan dan tidak mengajarkan.” 12
———
11 Diriwayatkan oleh para penyusun hadits dari ibnu Umar.
12 Kemurnian adalah taubat dan ketulusan hati adalah fidyah. Dan masih ada penafsiran yang lain. Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailami dan Ibnu ‘Asakir dengan matan agak berbeda.
Sumber : Dakwah Cara Nabi Karya al Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad