Ketika Allah swt mengangkat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam sebagai penutup kenabian dan kerasulan, Allah Yang Maha Mulia mewahyukan:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌّ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِّجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ وَكَانَ اللّٰه بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab ayat: 40)
Setelah itu maka ditutuplah pintu kenabian dan kerasulan, dan dijadikan kesempurnaan kerasulan beliau sebagai penutupnya. Sebagaimana Allah swt menjadikannya sebagai permulaan dan pembukaan, maka Allah swt menjadikannya pula sebagai akhir dan penutupan. Setelah beliau tidak ada nabi dan rasul. Lalu berkat anugerah, kemurahan yang melimpah, dan karunia-Nya, Allah swt menjadikan dari kalangan para ulama umat beliau yang merupakan pewaris, pengganti dan pengemban syariat beliau orang-orang yang seperti nabi-nabi Bani Israil dari beberapa sisi atau dari sebagian besarnya. Walaupun kenabian tidak akan mereka dapatkan, dan tidak ada yang mengharapkannya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, dan jalan untuk menuju kepadanya telah tertutup, begitu juga upaya dan usaha tidak mungkin mengantarkan padanya, serta tidak ada waktu yang memungkinkan untuk meraihnya. Semua itu sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan dengannya telah ditutup kenabian dan kerasulan.
Ketika kejadiannya sesuai dengan apa yang kita ketahui dan dengar. Maka Allah swt menjadikan untuk umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam ini orang-orang yang mengajak kepada petunjuk dan para mujaddid6, karena terhapusnya petunjuk-petunjuk agama dan hilangnya tanda-tanda keyakinan, yang menjadi sebab tergelincir dalam kealpaan pada agama dan kelalaian akan mendirikan perintah Ilahi serta larangan-larangan dalam syariat. Sebagaimana di sebutkan dalam sebuah hadits:
إِنَّ اللّٰهَ يَبْعَثُ لِهذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini orang-orang yang memperbaharui agama mereka pada setiap penghujung seratus tahun.” (HR. Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi.)
Para ulama mengatakan bahwa pada penghujung seratus tahun yang pertama adalah khalifah yang shaleh yaitu, Sayyidina Umar bin Abdul ‘Aziz al-Umawi al-Qurasyi rhm (101 H). Pada penghujung seratus tahun yang kedua adalah al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi rhm (204 H). Pada penghujung seratus tahun yang ketiga adalah al-Imam Ibn Suraij asy-Syafi’i (306 H) atau asy-Syeikh Abu Hasan al-Asy’ari rhm (324 H). Pada penghujung seratus tahun yang keempat adalah al-Qadhi Abubakar al-Baqillani al-Maliki (403 H) atau asy-Syeikh Abu Hamid al-Isfirani asy-Syafi’i (406 H). Pada penghujung seratus tahun yang kelima adalah al-Imam Abu Hamid al-Ghazali (505 H). Dan terjadilah pergantian pembaharu pada penghujung seratus tahun keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh, yang dengannya sempurnalah seribu tahun sejak hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, dan berdasarkan peristiwa hijrah itu dimulai penanggalan pada kekhilafahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra atas isyarat dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra.
Begitulah terjadi perbedaan pendapat pada pembaharu penghujung seratus tahun ketiga dan keempat, seperti yang diisyaratkan pada sebagian dari semua itu. Namun al-Hafidz as-Suyuthi rhm menyebutkan hadits yang diriwayatkan mengenai orang-orang yang muncul sebagai pembaharu umat ini dalam agama mereka pada setiap penghujung seratus tahun, bahwa kemungkinan yang dimaksud dengan pembaharu pada setiap penghujung seratus tahun adalah sekelompok dari pemimpin para ulama, yang dengan mereka terjadilah pembaharuan dalam agama. Pendapat yang disampaikannya dari segi lafadz dan makna. Namun dari segi para salafunasshalihin tidak menyebutkan mereka yang telah ditentukan dan diakui sebagai pembaharu abad pertama kecuali hanya satu orang saja dengan dugaan atau terjadi perbedaan dalam penentuan, maka pendapat yang dikemukakan oleh al-Hafidz as-Suyuthi menjadi pendapat yang menggantung. Dan dalam periode yang lama sekali pendapatnya dianggap menggantung. Sedangkan yang tampak dan terlintas di hati, pendapat inilah yang terjadi. Dan Allah swt, Dia-lah yang Maha Mengetahui dan Maha Tahu.
Pembaharu-pembaharu ini adalah orang-orang yang teristimewa dari umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam, dikarenakan nabinya adalah nabi yang tidak ada nabi dan rasul selelahnya, shalawat dan salam Allah swt baginya dan bagi seluruh nabi dan rasul. Telah diriwayatkan kepada kami bahwa ketika wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa shahbihi wa sallam dan terputuslah wahyu dengan kematiannya. Bumi mengadu kepada Tuhannya akan tiadanya para nabi lagi yang akan berjalan di atasnya. Maka Allah swt menjadikan pada umat ini para autad 7 dan abdal 8, serta orang-orang yang seperti mereka dari para wali Allah swt 9 dan orang-orang yang mengenal-Nya yang merupakan pewaris para nabi dan pengganti mereka.
——-
7 Secara harfiah berarti pilar-pilar. Istilah dalam dunia sufi terdapat manusia-manusia sejati sebagai autad yang bertempat di empat penjuru dunia.
8 Para pengganti kedudukan kekasih Allah swt dalam pandangan sufi.
9 Manusia-manusia paripurna yang selalu terus menerus merasakan kehadiran Allah swt dan telah mencapai derajat paling tinggi diantara semua manusia.
Sumber : Dakwah Cara Nabi Karya al Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad