Ringkasnya, orang yang mencelamu ada tiga kemungkinan. Pertama, celaannya benar dan ia berniat menasihatimu dan menyayangimu. Kedua. celaannya benar, tetapi ia bermaksud menyakitimu. Ketiga, celaannya tidak berdasar.
Apabila celaannya benar dan ia bermaksud menasihatimu makat idak selayaknya engkau mencela, memarahi, dan mendendam kepadanya. Sebaliknya, engkau hendaknya mengikuti nasihatnya. Sesungguhnya orang yang menunjukkan aibmu telah menunjukkanmu pada jalan yang bisa mencelakakanmu agar engkau bisa menghindarinya. Karena itu, kescdihanmu atas celaannya termasuk pangkal kebodohan.
Apabila celaannya benar dan ia bermaksud buruk terhadapmu, sesungguhnya engkau bisa mengambil manfaat dari celaannya itu. Sebab, darinya engkau bisa tahu aib dan kekuranganmu. Jika engkau sebelumnya tidak tahu aib itu, berarti ia telah memberitahukannya kepadamu; dan jika sebelumnya engkau lalai terhadap aibmu itu. berarti ia telah mengjngatkanmiL Kesadaranmu akan adanya aib pada dirimu adalah pangkal kebahagianmu. Karena itu, sibukkan dirimu untuk mencari kebahagiaan.
Sebagai perumpamaan, engkau hendak menemui raja, tetapi pakaianmu kotor dan engkau tidak menyadarinya. Seandainya engkau masuk dengan pakaian kotor seperti itu, tentu engkau khawatir sang raja akan memenggal lehermu karena engkau telah mengotori istananya. Maka ketika ada yang berkata kepadamu, “Hai kamu yang haiunya kotor, hersihkan dirimu,” seharusnya engkau menjadi senang karena dengan menyadarinya berarti engkau memperoleh sesuatu yang berharga.
Semua budi pekerti yang buruk adalah sebab kchancuran di akhirat. Manusia bisa mengetahui semua budi pekerti yang buruk itu dari lawan-lawannya. Karena itu. sudah sepantasnya ia memanfaatkan pengetahuan itu dari mereka.
Adapun niat buruk pencela kepadamu merupakan dosa baginya. Lalu mengapa engkau harus marah atas ucapan yang justru bermanfaat bagimu dan berakibat buruk baginya?
Kemungkinan ketiga, celaan orang kepadamu bisa jadi hanyalah dusta dan engkau di sisi Allah benar-benar tidak seperti tuduhannya. Dalam hal ini, engkau tidak sepatutnya membencinya dan menyibukkan diri dengan mencela dirinya. Sebaliknya. engkau hendaknya memikirkan tiga hal berikut:
Pertama, engkau tidak lepas dari aib-aib lain semacam yang dituduhkan kepadamu, bahkan aib yang Allah tutupi pada dirimu jauh lebih banyak. Maka bersyukurlah kepada Allah karena Dia tidak membongkarnya dan justru menyelamatkanmu dengan tuduhan seseorang atas aib yang tidak ada pada dirimu.
Kedua. sesungguhnya celaan itu merupakan kafarat atau penghapus atas dosa-dosa keburukanmu. Seakan-akan pencela melemparmu dengan celaan yang tidak ada pada dirimu, dengan begitu ia telah menyucikanmu dari dosa-dosa yang mengotorimu. Selain itu, orang yang menggunjingmu juga menghadiahkan pahala kepadamu.
Sebaliknya, orang yang memujimu justru menyerangmu dari belakang. jadi. apakah engkau lebih senang diserang dari belakang dan bersedih atas hadiah pahala yang bisa mendekatkanmu kepada Allah? Bukankah engkau mengaku ingin mendekatkan diri kepada-Nya?
Ketiga, sesungguhnya pencclamu yang malang telah berbuat dosa dan menghancurkan dirinya sendiri. Maka tidak sepatutnya engkau memarahinya agar setan tidak bergembira karena kemarahanmu. Sebaliknya. engkau hendaknya berdoa, “Ya Allah, perbaiki dia dan ampuni dosanya.” Hal ini sebagaimana doa Baginda Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam”Ya Allah ampuni kaumku. Ya Allah, berikan petunjuk kepada mereka. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”” Doa tersebut beliau panjatkan ketika kaumnya mematahkan giginya. melukai wajahnya. dan membunuh pamannya. Hamzah. pada Perang Uhud.
Ibrahim bin Adham pun mendoakan orang yang telah melukai kepalanya agar diampuni dosanya. Ketika ditanya alasannya mendoakan. ia menjawab, “Aku tahu bahwa aku mendapatkan pahala karena dia (menyakitiku). Karena itu. aku tidak rela jika ia berdosa karena (menyakiti) aku.”
Memutus sifat rakus pada diri sendiri dapat meringankan rasa sakit karena celaan. Barangsiapa yang menjadikan kedudukan sebagai tujuan utamanya. menyukai harta benda dan pujian. dan membena celaan, tidak sepantasnya ia menginginkan keselamatan akhiratnya. Sebab. antara keduanya terdapat jarak yang jauh sekali.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz