Luqman berpesan kepada anaknya, “Janganlah kau tunjukkan kepada manusia bahwa engkau takut kepada Allah dengan maksud agar mereka memuliakanmu, padahal hatimu tidak baik.”
Suara histeris, tarikan nafas, rintihan kala mendengar bacaan Al-Quran, zikir, dan tanda-tanda kebajikan yang lain adakalanya berasal dari ketulusan, kesedihan, perasaan takut kepada Allah, penyesalan, dan perasaan iba. Kadangkala itu semua dikarenakan seseorang menyaksikan kesedihan orang lain dan kerasnya hatinya sendiri, lalu ia memaksakan diri untuk bersedih—dan itu merupakan tindakan terpuji. Namun, kadang-kadang semua itu disertai pula dengan maksud memperlihatkan kepada orang lain bahwa ia banyak bersedih sehingga dikenal dengan label itu. Apabila hanya itu motif satu-satunya, maka itu termasuk riya. jika ia bisa menyingkirkan motif riya itu, tangisan dan upayanya untuk menangis termasuk tindakan yang baik. Namun, jika ia menerima motif riya tersebut dan menyukainya, pahalanya ibadahnya sirna dan sia-sialah upayanya.
Rintihan bersumber dari kesedihan, tetapi seseorang kadang memanjangkan rintihannya dan mengeraskan volumenya. Tambahan tersebut termasuk riya.
Kadang seseorang gemetar tiada terkira karena perasaan takutnya kepada Allah, tetapi sebelumnya pernah tebersit riya di hatinya dan ia menerimanya. Maka, riya itu membuatnya menambah nada kesedihan pada suaranya, meninggikannya, atau membiarkan air matanya meleleh di wajah agar dilihat orang bahwa itu terjadi karena ia takut kepada Allah.
Kadangkala seseorang mendengar zikir, lalu energi tubuhnya melemah karena perasaan takutnya kepada Allah, lalu ia pun terjatuh. Kemudian ia malu bila orang mengatakan, “la terjatuh tanpa mengalami ekstase42 dan tidak mengalami hal hebat.” Maka, ia pun berteriak histeris dan menampakkan kesedihan mendalam. Padahal awal jatuhnya adalah karena ketulusan.
Adakalanya seseorang mengalami ekstase, lalu terjatuh, tetapi la cepat sadar. Sehingga ia pun malu bila ada yang mengatakan, “Keadaannya tidak stabil.” Maka, ia memperlama teriakan histerisnya. Ada juga yang sadar setelah tubuhnya melemah, tetapi kelemahan tubuhnya pulih dengan cepat. Lalu ia khawatir ada yang mengatakan, “Ekstasenya palsu.” Maka, ia pun menampakkan tubuhnya dalam kondisi lemah lebih lama, merintih, bersandar pada orang lain, berjalan gontai, dan memendekkan langkah kakinya.
Semua itu merupakan tipu daya setan dan nafsu. Untuk mengobatinya, seseorang hendaknya ingat bahwa seandainya orang-orang mengetahui apa yang tersimpan di hatinya, niscaya mereka akan membencinya, dan bahwa Allah pasti mengetahui. Diriwayatkan dari Dzun Nun—semoga Allah merahmatinya—bahwa ia berdiri dan berteriak histeris. Lalu, bersamanya berdiri seorang syaikh dan Dzun Nun melihat tindakan syaikh itu dibuat-buat. Dzun Nun pun berkata, “Wahai Syaikh, Dia yang melihatmu ketika engkau berdiri.” Lalu syaikh itu pun duduk.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Berlindunglah kepada Allah dari khusyuknya kemunafikan.” Diantaranya adalah istighfar dan istiadzah (permohonan perlindungan) dari azab dan murka Allah. Ucapan zikir tersebut kadangkala didasari oleh tebersitnya perasaan takut kepada Allah dan penyesalan atas dosa-dosa; dan kadang didasari niat riya. Bersit-bersit itu saling berseberangan, bersepadan, dan berkemiripan. Karena itu, awasi apa pun yang tebersit di hatimu. jika itu karena Allah, biarkanlah lewat. Berhati-hatilah agar tidak ada sedikit pun riya tersamar yang mengenaimu dan hendaklah engkau senantiasa khawatir apakah ibadahmu diterima atau tidak. Waspadalah terhadap bersitan rukun-rukun ibadah yang berubah menjadi pujian manusia setelah melakukan ibadah dengan ikhlas. Sebab, hal seperti itu sering sekali terjadi. jika itu tebersit olehmu, pikirkanlah pengawasan Allah dan murka-Nya kepadamu. Sebagian orang berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari anggapan manusia bahwa aku takut kepada-Mu, padahal itu bertentangan dengan pandanganku terhadap-Mu.”
Di antara doa Sayyidina Ali bin Husain r.a. adalah, “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kenyataan bahwa amal ibadahku yang terang-terangan terlihat indah di mata manusia, sementara amal ibadah yang kusembunyikan buruk menurut-Mu. jiwaku senantiasa berbuat riya kepada manusia dan menyia-nyiakan apa yang Engkau lihat dariku, Aku memperlihatkan kepada manusia amal terbaikku, sementara kepada-Mu aku suguhkan yang terburuk dari amalku. Serta aku mendekat kepada manusia dengan kebaikan-kebaikanku dan lari dari mereka kepada-Mu dengan keburukan-keburukanku. Sehingga halal bagiku untuk mendapat murka-Mu dan menjadi keharusan untukku menerima amarah-Mu. Lindungilah aku dari sikap-sikap seperti itu, wahai Tuhan seluruh alam.”
Bagaimana mungkin sesuatu yang lebih samar daripada semut hitam bisa diketahui tanpa adanya inspeksi dan pengawasan yang sungguh-sungguh? Barangkali itu bisa diketahui setelah dicurahkah jerih payah dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin hal itu bisa diketahui tanpa adanya inspeksi terhadap hati, ujian terhadap jiwa, dan pemeriksaan terhadap tipu dayanya? Kepada Allah, pemilik anugerah, kemurahan, dan kebaikan, kita memohon keselamatan.
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz