Kadang-kadang dalam kegiatan mabit (menginap) bersama banyak orang, semuanya mengerjakan shalat tahajud, atau ada sebagian yang mengerjakan shalat malam semalam penuh atau sebagiannya, padahal di rumah ia biasa mengerjakan shalat malam selama kurang lebih satu jam saja, lalu ketika melihat mereka, semangat beribadahnya terdongkrak naik sehingga ia mengerjakan shalat lebih banyak daripada biasanya. Kadangkala seseorang tinggal di suatu tempat yang dihuni orang-orang yang berpuasa, lalu terdoronglah semangatnya untuk ikut serta berpuasa.
Mungkin ada yang menganggap hal itu sebagai perbuatan riya dan seharusnya pelakunya memilih melakukan kebalikannya. Pendapat ini tidak benar secara mutlak. Sebab, setiap mukmin yang senang beribadah kepada Allah kadang terbentur oleh banyak halangan dan terlenakan oleh banyak hal yang melenakan. Barangkali menyaksikan orang lain beribadah menjadi sebab hilangnya kelalaian. Atau halangan dan rintangan seseorang menjadi lenyap tatkala berada di tempat-tempat yang berbeda. Maka, apabila rintangan-rintangan itu lenyap, berarti ia telah mendapatkan sebab-sebab yang mendorongnya berbuat kebajikan. Misalnya, seseorang menyaksikan banyak orang beribadah kepada Allah, lalu ia ingin bersaing dengan mereka dan merasa sedih kalau ia kalah hebat dalam hal ibadah, lalu tergeraklah motif agama dalam dirinya, bukan motif riya. Atau seseorang tidak bisa tidur karena berada di tempat asing atau karena sebab lain, lalu ia memanfaatkan kondisi itu untuk banyak beribadah. Namun, setan berupaya memalingkannya dari ibadah seraya membisikkan, “Tidak perlu kau kerjakan. Sesungguhnya engkau berbuat riya apabila engkau biasanya tidak mengerjakannya di rumah, jangan pula kau perbanyak ibadahmu melebihi yang biasa engkau lakukan.”
Kadangkala seseorang memperbanyak ibadahnya karena dilihat orang banyak, takut dicela, takut disebut pemalas. Apalagi jika mereka menganggapnya terbiasa melakukan shalat malam. Maka, jiwanya tidak rela harga dirinya jatuh di depan mereka. Ketika itulah, setan berbisik, “Kerjakan shalat. Sesungguhnya engkau berlaku ikhlas. Engkau tidak mengerjakannya di rumah setiap malam karena ada banyak halangan. Motifmu mengerjakan shalat kali ini adalah hilangnya halangan-halangan itu, bukan karena dilihat mereka.” Dalam kondisi ini, persoalannya memang rumit, kecuali bagi orang yang terbuka mata hatinya.
Apabila seseorang menyadari bahwa motif ibadahnya adalah riya, hendaknya ia tidak memperbanyak ibadahnya walaupun hanya satu rakaat—untuk mendapat pujian orang banyak. Apabila semangatnya disebabkan oleh hilangnya halangan, kecemburuan pada kebaikan, dan perlombaan dalam ibadah, maka hendaknya ia kerjakan ibadah (sebanyak-banyaknya). Untuk mengetahui motif yang sebenarnya, seseorang hendaknya menanyakan kepada jiwanya; seandainya ia melihat mereka (yang sedang giat beribadah itu), tetapi mereka tidak melihatnya, apakah jiwanya masih merasa ringan untuk mengerjakan shalat? Apabila masih merasa ringan, hendaknya ia mengerjakan shalat. Apabila jiwanya merasa berat, hendaknya ia tidak mengerjakan shalat tersebut.
Contoh lain, seseorang menghadiri shalat jumat dan ia begitu bersemangat. Bisa jadi ia bersemangat karena ingin dipuji atau karena melihat semangat orang-orang lain dan kesungguhan mereka sehingga berdampak pada lenyapnya sifat lalai pada dirinya. Kadangkala motif agama muncul, tetapi dibarengi dengan motif ingin dipuji. Maka, apabila ia tahu bahwa yang lebih dominan adalah motif agama, tidak seharusnya ia meninggalkan ibadahnya.
Kadang ada sekelompok orang menangis, lalu ia pun ikut menangis karena takut kepada Allah. Seandainya ia hanya sendirian mendengarkan ceramah, niscaya ia tidak menangis. Namun, tangisan banyak orang meluluhkan hatinya. Kadangkala seseorang memaksakan diri menangis dengan niat riya dan kadang dengan niat yang tulus karena khawatir hatinya menjadi keras. Memaksakan diri menangis dengan tulus tersebut merupakan tindakan terpuji. Untuk mengukur ketulusannya, seandainya ia mendengar tangisan mereka, tetapi mereka tidak melihatnya, apakah ia mengkhawatirkan hatinya menjadi keras—lalu ia menangis—atau tidak?
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz