Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, yang dengan kekuasaan-Nya Dia menggengam pembendaharaan segala urusan, dan dengan kekuatan-Nya Dia memegang kunci-kuci kebajikan dan keburukan. Dia mengentaskan orang-orang yang taat kepada-Nya dari kegelapan menuju cahaya, dan menggiring musuh-musuh-Nya kepada tipu daya yang sangat rumit. Shalawat sepanjang zaman dan keselamatan semoga senantiasa dicurahkan kepada junjungan kita, Muhammad, yang telah melepaskan manusia dari gelapnya keraguan dan syubhat; juga kepada keluarga beliau dan para sahabatnya, yang tidak teperdaya oleh kehidupan dunia dan tidak pula tertipu dalam ketaatan kepada Allah.
Kunci kebahagiaan adalah kewaspadaan, sedangkan sumber kesengsaraan adalah keteperdayaan. Hati orang-orang yang cerdas (akyas) “laksana suatu lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)” (QS. Al-Nur [24]: 35). Adapun hati orang-orang yang teperdaya,1 “seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya, ia hampir tidak dapat melihatnya. Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, dia tidak mempunyai cahaya sedikit pun” (QS Al-Nur [24]: 40).
Sekarang, kami akan menjelaskan berbagai tempat mengalirnya tipu daya setan dan menunjukkan motif-motifnya. Meskipun motif-motif tersebut tak terbilang banyaknya, kami akan menyodorkan beberapa contoh yang memadai agar bisa memberikan pemahaman yang cukup.
Kelompok-kelompok yang teperdaya banyak sekali jumlahnya, tetapi bisa diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu orang-orang alim, para ahli ibadah, para sufi, dan kaum hartawan. Di antara mereka yang teperdaya itu, ada yang menyangka kemungkaran sebagai kebajikan. Ada pula yang tidak bisa membedakan antara amal yang ia lakukan untuk dirinya sendiri dan yang ia lakukan untuk Allah, seperti mubalig yang bertujuan untuk mendapat nama dan kedudukan di mata masyarakat. Ada juga yang meninggalkan perkara-perkara wajib, tetapi malah sibuk mengerjakan perkara-perkara sunnah. Ada yang meninggalkan substansi dan sibuk mengurusi kulit, seperti orang yang mengerjakan shalat hanya dengan memperbaiki makharij al-huruf (cara pengucapan huruf).
Sumber : Amal Pemusnah Kebaikan Ringkasan Bab Muhlikat Ihya ‘Ulum al-din karya Habib Umar bin Hafidz