Jika seorang membaca al-Qur’an, hendaknya hatinya menerjemahkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an yang diucapkan oleh lisannya. Penerjemahan ini merupakan tanda hadirnya hati ke hadirat Ilahi. Jika seorang sudah dapat merasakan hal ini, maka ia dapat meningkatkan lebih bagus sampai hatinya dapat segera hadir ke hadirat Ilahi setiap kali kalimat-kalimat dzikir atau ayat-ayat al-Qur’an ia ucapkan dengan lisannya. Itulah makna dari sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam:
الإحسان أن تعبد الله كآنّك تراه
Artinya: “Ihsan adalah ketika kamu menyembah kepada Allah swt seolah-olah kamu melihat-Nya.”
Seorang yang ingin mencapai kesaksian yang agung ini, hendaknya ia memantapkan kehadiran hatinya seperti yang kami sebutkan di muka dan hendaknya ia mensucikan Allah swt dari segala prasangka yang tidak pantas. Seorang yang tidak mempunyai hati yang bcrsih terhadap Allah swt. maka ia akan membayangkan Dzat Allah swt dengan berbagai khayalan-khayalan yang kotor, padahal Allah swt Maha Suci daripadanya.
Di dalam tingkatan ini, seorang seolah-olah merasakan kehadiran Dzat yang diajak bicara ketika ia membaca kalam suci-Nya, atau ia merasakan kehadiran Dzat yang diingat-Nya ketika ia berdzikir. Dan ia akan mengalami ketersamaran, ketenggelaman, mabuk kepayang dan peleburan jiwa dan pengalaman apa saja yang biasa dialami oleh para wali Allah.
Bagi siapapun yang ingin mencapai hadirat Ilahi. hendaknya ia mengikuti tarekat dengan sabar dan tekun, dan berjuang sekuat kemampuannya, serta mau mendengar baik-baik seorang tokoh sufi. yaitu asy-Syeikh al-lmam al-Junaid, ketika ia ditanya: “Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini, yang tidak dapat ditemukan oleh siapapun dari gurunya?”
Maka ia menjawab: “Dari senantiasa kebersamaanku dengan Allah swt di bawah tangga itu selama 30 tahun.” Sambil menunjuk sebuah tangga yang berada di pojok rumahnya.
Di awal pengembaraannya, asy-Syeikh asy-Syibli pernah berkhalwat di bawah tanah dan ia membawa seikat sapu lidi. Setiap kali ia lupa, maka ia segera memukuli dirinya dengan ikatan sapu lidi tersebut, sehingga sebelum waktu sore tiba maka sapu lidi itu sudah hancur karena sering dipakai memukul dirinya.
Maka sebagai titik awal ia mendapatkan ilmu mukasyafah dan musyahadah adalah berkat perjuangannya dan penggemblengan nafsunya. Tingkatan ini bisa saja diraih oleh sebagian orang tanpa perjuangan yang keras dan penggemblengan nafsunya, namun hal ini sangat langka.
Ketika seorang sudah mencapai tahapan bersama Allah swt dan merasa mendapat kedamaian dengan-Nya, maka ia akan merasa berat ketika duduk bersama manusia, apalagi untuk membicarakan masalah duniawi, meskipun ia sangat membutuhkannya. Sama halnya ketika ia berjuang untuk mendapatkan tingkatan bersama Allah swt.
Salah satu sebab yang paling kuat untuk mencapai tingkatan bersama Allah swt, hendaknya ia selalu merasa di dalam hatinya bahwa Allah swt melihatnya dan melihat pula semua niat yang ada di relung hatinya. bukan saja melihat jasadnya dan semua tindak tanduknya.
Di antara kendala yang menghalangi konsentrasi hati seorang kepada Allah swt ketika ia sedang shalat atau ketika ia sedang berdzikir, menurut pandangan para ahli makrifat, adalah mengingat hal-hal selain Allah swt, meskipun hal-hal yang berkaitan dengan akhirat. Dan menurut mereka. konsentrasi seseorang hanya bisa dicapai bila ia membuang semua pikiran nya selain Allah swt.
Kelalaian hati seorang bisa juga menyebabkan amal ibadahnya rusak, apalagi jika ia mengerjakannya tanpa mengetahui maknanya seperti yang dilakukan seorang yang dapat menyaksikannya. Suatu amal kebajikan yang dikerjakan dengan lalai dan tidak ada usaha untuk menghadirkan hati, maka amalan itu tidak akan menghadirkan hati, ia hanya dapat dicapai dengan memaksakan diri, meskipun amalan tersebut masih diberi barakah.
Ada seorang lelaki berkata kepada asy-Syeikh Abu Hafidz: “Sesungguhnya aku selalu berdzikir, namun hatiku tidak dapat konsentrasi.’ Maka ia menjawab: Allhamdulillah yang masih memberi kesempatan salah satu anggota jasadmu untuk mengingat-Nya.”
Sumber: Inilah Jawabku Karya Al Allamah AlHabib Abdullah bin Alawi AlHaddad